Syiah dan Sunni


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Sejarah Islam mencatat bahwa hingga saat ini terdapat dua macam aliran besar dalam Islam. Keduanya adalah Ahlussunnah (Sunni) dan Syi’ah. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa dua aliran besar teologi ini kerap kali terlibat konflik kekerasan satu sama lain, sebagaimana yang kini bisa kita saksikan di negara-negara seperti Irak dan Lebanon.
Terlepas dari hubungan antara keduanya yang kerap kali tidak harmonis, Syi’ah sebagai sebuah mazhab teologi menarik untuk dibahas. Diskursus mengenai Syi’ah telah banyak dituangkan dalam berbagai kesempatan dan sarana. Tak terkecuali dalam makalah kali ini.
Sunni adalah golongan umat Islam yang berkiblat fiqh pada empat imam (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Syafii). Orang di Indonesia sendiri cenderung memilih mengikuti Imam Syafii dalam hukum-hukum yang berkaitan dengan fiqh. Dalam makalah ini akan membahas pengertian, sejarah dan perkembangan, tokoh, ajaran, Sunni dan Syi’ah dalam perspektif islam pada abad ke XI. Semoga karya sederhana ini dapat memberikan gambaran yang utuh, obyektif, dan valid mengenai sunni dan Syi’ah, yang pada gilirannya dapat memperkaya wawasan kita sebagai seorang Muslim.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Syi’ah dan Sunnisme?
2.      Bagaimana sejarah Syi’ah dan Sunnisme pada abad ke XI?
3.      Bagaimana perkembangan Syi’ah dan Sunnisme?







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Syi’ah dan Sunnisme
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna yaitu pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga, bermakna setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.
Syiah artinya pendukung, maksudnya pendukung Ali bin Abi Thalib. Pada akhir masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, seorang Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba menyatakan diri masuk Islam. Sewaktu masih menganut agama Yahudi ia pernah mengatakan bahwa Yusya’ bin Nun adalah seorang yang diberi wasiat oleh Nabi Musa untuk melanjutkan memimpin Bani Israil. Setelah masuk Islam, dia menghembuskan doktrin bahwa Ali telah menerima wasiat dari Nabi Muhammad sebagai khalifah sepeninggal beliau. Lebih dari itu Abdullah bin Saba mengajarkan bahwa pada diri Ali itu mengandung unsur ketuhanan.
Menurut golongan Ahlu Sunnah Wal Jamaah kaum Syi’ah adalah kaum ar-Rifadhah, yaitu orang-orang yang menolak dan dinamakan demikian karena mereka menolak keimanan Abu Bakar dan Umar serta mereka sepakat bahwa Nabi Muhammad SAW telah menentukan Ali sebagai penggantinya dengan menyebut namanya dan mengumumkannya terang-terangan. Mereka juga berpendapat bahwa banyak sahabat Nabi SAW telah sesat, karena mereka meninggalkan ajaran dan amalan yang diperintahkannya setelah Rosulullah wafat.
Kaum muslimin masih berbeda pendapat dalam menilai golongan syi’ah. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa syiah adalah kelompok pemahaman aqidah aqidah saja, sedangkan sebagian yang lain, berpendapat bahwa syi’ah adalah paham politik, bahkan sebagian lain lagi berpendapat bahwa bahwa syi’ah tidak lebih dari perwujudan dari rasa simpati terhadap Ali bin Abi thalib.
Sunni merupakan Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah atau Ahlus-Sunnah wal Jama'ah atau lebih sering disingkat Ahlul-Sunnah atau SunniAhlussunnah adalah mereka yang senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan Al Qur'an dan hadits yang shahih dengan pemahaman para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.
Sunnah secara harfiah berarti tradisi, Ahl as-Sunnah berarti orang-orang yang secara konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad SAW, dalam hal ini adalah tradisi Nabi dalam tuntutan lisan maupun amalan beliau serta sahabat mulia beliau.[1]
            Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan terbesar umat Islam yang menyandarkan amal ibadahnya kepada madzhab yang empat, yakni: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.[2] Dalam perkembangan berikutnya muncul gerakan salafiyah yang dilakukan Ibnu Taimiyah dan diteruskan oleh Muhammad Abdul Wahab dengan gerakan Wahabiyahnya yang sekarang menjadi madzhab resmi kerajaan Arab Saudi.

B.     Sejarah Lahirnya Syi’ah dan Sunnisme
Dahulu di zaman Rasulullah SAW. kaum muslimin dikenal bersatu, tidak ada golongan ini dan tidak ada golongan itu, tidak ada syiah ini dan tidak ada syiah itu, semua dibawah pimpinan dan komando Rasulullah SAW.
Bila ada masalah atau beda pendapat antara para sahabat, mereka langsung datang kepada Rasulullah SAW. itulah  yang membuat para sahabat saat itu tidak sampai terpecah belah, baik dalam masalah akidah, maupun dalam urusan duniawi.
Kemudian setelah  Rasulullah SAW wafat, benih-benih perpecahan mulai tampak dan puncaknya terjadi saat Imam Ali kw. menjadi khalifah. Namun perpecahan tersebut hanya bersifat politik, sedang akidah mereka tetap satu yaitu akidah Islamiyah, meskipun saat itu benih-benih penyimpangan dalam akidah sudah mulai ditebarkan oleh Ibin Saba’, seorang yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai pencetus faham Syiah (Rawafid).
Tapi setelah para sahabat wafat, benih-benih perpecahan dalam akidah tersebut mulai membesar, sehingga timbullah faham-faham yang bermacam-macam yang menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW.
Saat itu muslimin terpecah dalam dua bagian, satu bagian dikenal sebagai golongan-golongan ahli bid’ah, atau kelompok-kelompok sempalan dalam Islam, seperti Mu’tazilah, Syiah (Rawafid), Khowarij dan lain-lain. Sedang bagian yang satu lagi adalah golongan terbesar, yaitu golongan orang-orang yang tetap berpegang teguh kepada apa-apa yang dikerjakan dan diyakini oleh Rasulullah SAW. bersama sahabat-sahabatnya.
Golongan yang terakhir inilah yang kemudian menamakan golongannya dan akidahnya Ahlus Sunnah Waljamaah. Jadi golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah golongan yang mengikuti sunnah-sunnah nabi dan jamaatus shohabah.
Dengan demikian akidah Ahlus Sunnah Waljamaah itu sudah ada sebelum Allah menciptakan Imam Ahmad, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hambali. Begitu pula sebelum timbulnya ahli bid’ah atau sebelum timbulnya kelompok-kelompok lainnya.[3]
Akhirnya yang perlu diperhatikan adalah, bahwa kita sepakat bahwa Ahlul Bait adalah orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi SAW. dan mereka tidak menyimpang dari ajaran nabi. Mereka tidak dari golongan ahli bid’ah, tapi dari golongan Ahlus Sunnah. Zaman Rasulullah SAW Syiah-syiah atau kelompok-kelompok yang ada sebelum Islam, semuanya dihilangkan oleh Rasulullah SAW, sehingga saat itu tidak ada lagi Syiah.
   Nama atau terminologi syi’ah tampaknya berbeda dengan nama atau terminologi lainya dalam sejarah islam, seperti ahlu sunah waljamaah, Asy’ariyah  Mu’tazilah, Maturidiyah, dan lain lain. Nama tersebut tidak di kenal di masa Nabi Muhammad Saw. Dan para sahabat beliau. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa nama-nama tersebut adalah firqah atau golongan dalam islam yang muncul kemudian setelah periode Nabi Saw dan sahabat-sahabat beliau.
Melalui kajian-kajian kesejarahannya teranglah bahwa yang disebut dengan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah kelompok yang mengakui khulaufa Al-Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Tholib sebagai kholifah yang syah setelah Nabi wafat. Sebaliknya, golongan yang menolak khulafaurasyidin sebagai khalifah-khalifah yang syah setelah Nabi wafat disebut rafidhah atau syi’ah. Dan kalau kita amati secara cermat bahwa hampir semua khalifah dari Abu Bakar sampai ke masa pemerintahan Bani Abbasiyah ternyata membenci mereka yang mengikuti Ali dan keturunannya, dan mereka tidak dimasukkan sebagai golongan Ahli Sunnah. Dengan istilah rekayasa nama Ahlu Sunnah ini pula, mereka seolah-olah ingin menegaskan bahwa syi’ah adalah kelompok besar lain sekaligus musuh Ahlu Sunnah (untuk diadu domba) sehingga timbullah dua kubu yang berbeda pasca wafatnya Rasul hingga saat ini, yaitu Sunni dan Syi’ah.

C.    Perkembangan Syi’ah dan Sunnisme
  1. Syi’ah
Terminologi syi’ah (sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka) sangat dikenal dan dipahami pada masa Nabi Saw, pengertianpun sangat jelas baik yang terdapat dalam al-Qur’an ataupun yang ada dalam hadis Nabi Saw sendiri ataupun pada masa sesudahnya. Terminology syi’ah selalu dikaitkan dengan sosok Ali bin bin Abi. Sebagai “symbol” diakui, baik oleh pengikutnya sendiri, simpatisanya, atau bahkan musuh sekalipun.
Setelah meninggal dunia akibat pukulan pedang Abdurrahman bin muljam, Syi’ah bin Ali bin Abi Thalib untuk aklamasi menobatkan Hasan bin Ali bin Abi Thalib untuk memegang tampuk khalifah menggantikan ayahnya.walaupun secara de jure al-Hasan sah sebagai khalifah namun secara de factor justru Muawiyah bin Abi Sufyan yang lebih menguasai dan mendominasi roda pemerintahan dewasa itu.
Realitas inilah yang menyebabkan banyak dari Syi’ah Ali bin Abi Thalib berpaling dan meninggalkan al-Hasan bin Ali, walaupun tadinya mereka ikut membaiatnya sebagai khalifah. Dengan kondisi rill di masyarakat seperti itu, al-Hasan dengan berat hati dan demi kepentingan umat, terpaksa mengadakan perdamaian dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dengan beberapa syarat yang disepakati oleh kedua belah pihak. Perjanjian damai antara Mu’awiyah bin Abi sufyan dengan al-Hasan meninggalkan kufah dan basrah pergi dan menetap di Madinah, ternyata di langgar sendiri oleh Mu’awiyah. Pada masa pemerintahan  syi’ah Ali bin Abi Thalib mengalami masa-masa sulit, lebih kurang dua puluh tahun. Keadaan ini di alami oleh syi’ah Ali bin Abi Thalib sepanjang masa pemerintahan Bani Umayyah yang berakhir pada masa pemerintahan Marwan II yang berkuasa sejak tahun 127-132 H. Walaupun demikian, eksistensi Ali bin Abi Thalib masih tetap terjaga melalui iman-iman mereka sampai abad pertengahan hijriah.
Memasuki abad ke dua hijriah keadaan tidak jauh berbeda dengan situasi yang mereka (Syi’ah Ali) alami pada masa-masa sebelumnya, kecuali pada akhir seper tiga abad ke 2 H. Abu Muslim al-Marwaziyyang mendapat dukungan dari masyarakat, berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Umayyah. Dimana pada hari-hari pertama kekuasaanya, Syi’ah Ali bin Abi Thalib diperlakukan dengan baik dan dengan penuh rasa hormat. Namun keadaan ini tidak berlangsung lama, Syiah Ali bin Abi Thalib mulai lagi dengan diintimidasi, demikian juga dengan para pengikut dan simpatisan mereka. Secara keseluruhan kondisi yang ada pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah tidak juga berbeda dengan kondisi pemerintahan yang ada pada masa Bani Umayyah, dimana Syi’ah Ali bin Abi Thalib, pengikutnya dan para simpatisan mereka, masihh tetap mengalami penindasan dan pengejaran.
Pada abad ke 3 H. Syiah Ali bin Abi Thalib, sedikit mendapat anginan segar untuk mendakwakan dan mengembangkan  ajaran-ajaran mereka. Kondisi ini di karenakan adanya perubahan politik penguasa (al-Ma’mun bin Harun ar-Rasyid)  pada saat itu. Sebagaimana di maklumi bahwa al-Mamun bin Harun ar-Rasyid adalah salah seorang khalifah dari Bani Abbas yang mengutamakan kebebasan berfikir, karena memang ia adalah seorang penganut mazhab Mutazilah. Pada masanya, para ilmuan mendapat tempat yang sangat terhormat. Peembahasan-pembahasan  ilmiah yang argumen dan rasional sangat di apresiasi olehnya.  Kondisi politik pemerintahan tersebut tidak disia-siakan oleh Syiah Ali bin Abi Thalib dan para pengikut mereka dalam rangka mengembangkan mazhab Syi’ah Ali yang mereka anut. Majelis ilmu mereka dirikan di berbagai penjuru kota untuk mengadakan dialog dengan para ilmuan lainya dari berbagai macam kelompok dewasa itu.
Memasuki abad ke 4 H. seiring dengan melemahnya kekuasaan dinasti Abbasiyah, Syi’ah Ali bin Abi Thalib mendapat kesempatan emas untuk menggembangkan mazhab mereka. Sehingga, pada saat itu, mayoritas penduduk yang berada di wilayah zajirah Arab, mulai tertarik dan ikut mazhab Syiah Ali bin Abi Thalib. Sehingga kota basrah menjadi pusat Ahlu sunah wal jamaah pun ikut terpenggaruh dengan perkembangan Syi’ah Ali bin Abi Thalib, walaupun tidak seperti kota kufah yang menjadi pusat mazhab Syiah Ali. Perkembangn Syiah Ali pada abad ke 4 H ini. Justru sampai di teluk Persia dan kota-kota yang ada di Iran. Bahkan mesir berhasil dikuasai oleh dinasti Fatimiyah yang bermahzab Syiah.
Zaman keemasan berkembang Syi’ah Ali bin Abi Thalib tersebut tampaknya berlanjut sampai abad ke 5 H, bahkan hinggga abad ke-9 H. hal ini dipahami karna dalam menjalankan dan menyebarkan misinya, Syi’ah Ali selalu didukung penguasa saat itu yang memang telah menganut mazhab Syi’ah Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, setelah dinasti fatimiyyah runtuh dan digantkan oleh dinasti al-Ayyubiyah para pengikut Syi’ah Ali bin Abi Thalib mulai lagi mendapat tekanan dari penguasa yang tidak semazhab denggan mereka, sehingga mereka tidak lagi bebas untuk menyebarkan mazhab Syi’ah Ali yang mereka anut.
Pada abad berikutnya, yaitu abad ke 10 H sampai dengan abad ke 11 H, perkembangan Syi’ah Ali bin Abi Thalib memasuki fase yang baru dan sangat berbeda dengan abad-abad sebelumnya.[4] Kalau pada abad-abad sebelumnya, Syi’ah Ali bin Abi Thalib selalu mengalami pasang surut dalam perkembanganya, maka pada abad ini (10 H-11 H), Syi’ah Ali berhasil mendirikan sebuah Negara Syi’ah yang mandiri yang berbentuk kerajaan, di mana semua aparat harus bermahzab Syi’ah. Keberhasilan mendirikan sebuah Negara sebagaimana telah di jelaskan di atas dimotori oleh Syah Ismail Syafawiy. Pada tahun 906 H beliau berhasil membebaskan Iran dari penguasaan dinasti utsmaniayah, dan juga berhasil mewujudkan keinginan untuk menjadikan Iran sebagai suatu kerajaan yang bermahzab Syi’ah Imamiyah dewasa itu.
Pada abad ke-12 H hingga abad ke-14 H, mazhab Syi’ah berkembang menembus berbagai macam suku bangsa dan Negara. Apalagi setelah kemenangan revolusi Iran dimana mazhab Syi’ah Ali bin Abi Thalib dijadikan sebagai mazhab resmi Negara. Dengan kebebasan berfikir dan kebebasaan mengeluarkan pendapat yang dianut oleh sebagian besar penduduk dunia dewasa ini, tampaknya mazhab Syi’ah mendapatkan lahan yang subur di kebanyakan Negara yang mayoritas penduduknya beragam islam, suatu realitas yang tidak pernah ditemukan pada abad dan tahun-tahun sebelumnya.
Dewasa ini penganut mazhab Syi’ah mulai dari jazirah Arab, Irak, Iran, Yaman dan Indonesia serta Negara-negara mayoritas penduduk Islam, di perkirakan lebih dari tiga ratus juta jiwa. Perkiraan penganut mazhab ini akan bertambah seiring banyaknya literatur Syi’ah yang sangat digandrungi oleh para ilmuan dan mahasiswa yang ada pada perguruan-perguan tinggi, khususnya di Indonesia, yang kemudian dapat menjadikan mereka menjadi pengagum, simpatisan, dan bahkan dapat menjadi penganut mazhab Syiah itu sendiri.
  1. Sunnisme
Akar perkembangan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai aliran, sekte atau paham keagamaan dapat dilacak dari fenomena kemunculan berbagai golongan (firqah) di kalangan umat Islam pada masa Khulafa al-Raasyidiin. Lahirnya firqah-firqah ini mula-mula berlatar belakang politik, yakni problem politik pasca Nabi. Pertentangan berdasarkan politik yang muncul saat itu adalah Anshar, Muhajirin, dan Ahl Bait sebagai salah satu pecahan dari Muhajirin.
Konflik politik kembali muncul ketika Ali menggantikan posisi Usman yang terbunuh dalam serangkaian pemberontakan. Muawiyah bin Abu Sufyan, kerabat Usman yang menjadi gubernur di Syam menuduh Ali sebagai provokator pemberontakan dan menuntutnya bertanggung jawab atas kematian Usman. Dengan alasan yang sama, Aisyah istri nabi yang berkoalisi dengan mantan pendukung Ali, yakni Talhah dan Zubair, secara terang-terangan juga menyatakan oposisi terhadap Ali.[5]
Pertentangannya dengan kelompok Aisyah menimbulkan perang Jamal yang pada akhirya Talhah dan Zubair gugur dalam perang tersebut. Sedangkan pertikaian Ali dengan Muawiyah berpuncak pada perang Shiffin yang berakhir dengan dilaksanakannya takhkim (Arbitrase). Sebagian pendukung Ali yang kecewa terhadap Takhkim menjelma menjadi kelompok baru yang radikal dan dikenal dengan Khawarij.[6]
Mengiringi rentetan konflik masalah khilafah yang berkepanjangan itu, timbullah serangkaian konflik yang berkaitan erat dengan  akidah sebagi basis legitimasi masing-masing pihak. Kelompok pendukung Ali (Syi’at Ali) yang kemudian disebut dengan Syi’ah berkembang menjadi kelompok yang sangat fanatik. Mereka berpendirian bahwa ketiga khalifah pendahulu Ali, Muawiyah , maupun Bani Abbas, pada hakikatnya telah merampas hak Ali.
Sementara itu kaum Khawarij berpendapat bahwa Ali maupun Muawiyah telah melanggar hukum Tuhan dengan melakukan Takhkim. Menurut mereka, pelanggaran terhadap hukum tuhan adalah dosa besar dan pelakunya adalah kafir.
Kemudian pada saat itu, muncul pihak ketiga yang tidak sependapat dengan mereka, yakni Murji’ah (menunda atau menunggu). Mereka menyatakan, pihak-pihak yang berseteru itu semuanya tetap mukmin, namun siapa di antara mereka yang salah dan siapa yang benar tidak diketahui dengan pasti, karena itu mereka abstain dan menyerahkan keputusan hukumnya kepada Allah SWT.
Terkait dengan kelompok Sunni, keragaman pendapat dalam kelompok ini di bidang fikih, ushul fikih, kalam dan bidang-bidang lain juga sangatlah kaya. Di bidang fikih, berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali, Zhahiri, dan lain sebagainya. Di bidang ilmu tauhid berkembang pemikiran Imam Asy’ari, Maturidi, Thahawi, Bazdawi, Asnawi, Isyfiraini, al-Ghazali, dan lain sebagainya. Walaupun dalam banyak persoalan mereka berbeda pendapat, para ulama Sunni telah menggariskan pokok-pokok keimanan yang tidak boleh diselisihi oleh kaum Muslim; yakni iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Kiamat serta qadla dan qadar. Pandangan mereka terhadap persoalan Imamah atau Khilafah juga beragam. Hanya saja, seluruh ulama Sunni mengakui legalitas tiga khalifah sebelum Ali ra. serta mengakui keadilan para Sahabat Nabi saw. dan hak Kekhilafahan tidak hanya di tangan Ali ra. dan keturunannya saja meski sebagian mazhab Syafii berpandangan bahwa khalifah harus dijabat oleh suku Quraisy.
Dalam konteks kalam, pandangan Imam Asy’ari dalam menyikapi ayat-ayat shifat berbeda dengan pandangan Imam Maturidi. Selain itu, pandangan dan perlakuan ulama-ulama Sunni terhadap Ahlul Bait selalu bersandarkan pada wasiat dan pesan Nabi saw. Dalam pandangan ulama Sunni, Ahlul Bait tidaklah terjaga dari dosa alias ma’shûm sebagaimana Rasulullah saw. Hanya saja, Ahlul Bait mendapatkan kedudukan dan tempat yang sangat mulia di sisi kelompok Sunni, sebagaimana para Sahabat besar Nabi saw. yang lain.
Dalam lintasan sejarahnya yang panjang, keragaman pendapat yang terdapat pada kelompok Sunni dan Syi’ah pada batas-batas tertentu tidak pernah menyulut terjadinya konflik yang pelik, kecuali setelah isu Sunni-Syi’ah ini dipolitisasi sedemikian rupa untuk menimbulkan perpecahan di tengah-tengah kaum Muslim serta untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Namun, dari sisi pemikiran hukum maupun politik, kalangan Sunni dan Syi’ah sudah terbiasa dengan perbedaan pendapat. Kedua kelompok ini bisa hidup berdampingan dan saling menghormati satu sama lain. Kenyataan ini bisa dilihat dari sikap para ulama kalangan Sunni terhadap ulama Syi’ah dan sebaliknya. Ulama-ulama mu’tabar dari kalangan Sunni menempatkan Ahlul Bait (yang oleh kalangan Syi’ah dijadikan sebagai panutan dan pemimpin mereka) pada kedudukan yang tinggi dan mulia. 
 Ibnu Syihab az-Zuhri (50-123 H), misalnya, seorang ulama besar dari kalangan Sunni, memberikan komentar terhadap Ali Zainal Abidin dengan ungkapan, “Saya belum menyaksikan seseorang yang lebih ahli dalam bidang hukum daripada Ali bin al-Husain. Hanya saja, beliau ini sedikit berhadis.” 
Ibnu Musayyab, ulama besar Sunni yang lain melukiskan kepribadian Ali bin al-Husain, “Saya belum menyaksikan orang yang lebih wara’ daripada beliau.”
Simak juga bagaimana penilaian Muhammad bin Ali atau Abu Ja’far al-Baqir (w. 133 H) terhadap Abdullah bin Umar (w. 73 H), “Di antara para Sahabat Rasulullah, tak seorang pun jika mendengarkan sabda Rasulullah saw. bersikap lebih hati-hati untuk tidak menambahi atau mengurangi daripada Abdullah bin Umar.” (Ibnu Saad, Ath-Thabaqât, II/125).
Di sisi lain, Imam Ja’far bin ash-Shadiq pernah menjadi guru Imam Abu Hanifah (w. 150 H) dan Imam Malik bin Anas ra (w. 179 H). Dari kalangan Syiah Zaidiyah, kaum Muslim juga mengenal Zaid bin Ali ra. Pandangan-pandangan beliau mengenai syariah, hadis dan para Sahabat besar tidak ada bedanya dengan pandangan kaum Sunni, kecuali dalam bidang Imamah (kepemimpinan). Zaid bin Ali (w. 122 H) lahir di Madinah al-Munawarah. Beliau banyak belajar dari ulama-ulama Sunni terkemuka seperti Said ibn Musayyab, Abu Bakar bin Abdurrahman, Urwah bin Zubair, Ubaidillah bin Abdillah dan ulama-ulama besar Madinah lainnya.
Bukti lain yang menunjukkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan Sunni dan Syi’ah adalah kaum Muslim dari kalangan Sunni dan Syi’ah yang hidup di daerah Kufah, Yaman dan negeri-negeri Islam lain; mereka bisa hidup berdampingan dengan damai dan harmonis. Adanya konflik-konflik bersenjata yang terjadi di dalam sejarah Kekhilafahan lebih diakibatkan karena alasan-alasan yang bersifat politis, semacam perebutan kekuasaan dan intrik-intrik politik.

D.     Kelompok-kelompok besar Syi’ah.
Kelompok utama Syi’ah ini memiliki karakteristik ajaran dan pandangan syi’ah yang berbeda antara lain adalah sebagai berikut:[7]
  1. Syi’ah Gulat
Syi’ah kelompok (ekstremis) ini hampir dikatakan telah punah. Mereka antara lain:
a.       As Sabaiyah
Menurut asy-Syahrastani, mereka adalah pengikut-pengikut Abdullah bin Saba yang konon pernah berkata kepada sayyidina Ali: “ Anta Anta,” yakni Engkaulah adalah Tuhan. Dia juga mengatakan dan mempopulerkan keyakinan bahwa Sayyidina Ali ra.Memiliki tetesan ketuhanan. Dia menjelma melalui awan.Guntur adalah suaranya, kilat adalah senyumnya. Dia kelak akan turun kembali kebumi untuk menegakkan keadilan sempurna.
b.      Al-Khaththabiyah
Mereka adalah penganut aliran Abu al-Khaththab al-Asady, yang menyatakan bahwa imam Ja’far ash-Shadiq dan leluhurnya adalah Tuhan. Imam Ja’far sendiri mengingkari bahkan mengutuk kelompok ini karna sikap imam Ja’far yang tegas itu, maka pimpinanya, yakni Abual-Khaththab, mengangkat dirinya sebagai imam. Ia mengajarkan bahwa para nabi adalah Tuhan, bahkan imam Ja’far dan para leluhur beliau pun dijadikanya Tuhan. Al-Khaththabiyah terbagi juga pada sekian kelompok yang berbeda-beda. Sebagian di antara mereka percaya bahwa dunia itu kekal, tidak akan binasa, surga adalah kenikmatan duniawi, mereka tidak diwajibkan sholat dan membolehkan minuman keras.
c.        Al-Ghurabiyah
Cabang kelompok ini, antara lain , percaya bahwa sebenarnya Allah mengutus malaikat Jibriil As. Kepada Ali bin Abi Thalib Ra., tetapi malaikat itu keliru dan bahkan berhianat sehingga menyampaikan wahyu kepada Nabi. Karna itu mereka mengutuk malaikat jibril as. Sambil berkata :“ Khana al-Amin/yang dipercaya telah berhianat” Almarhun Ali Syariati, pemikir Syi’ah kontemporer, berkomentar : “jika salah menyampaikan wahyu yang pertama kali, mengapa ia mengulangi  kesalahanya selama dua puluh tiga tahun? (yakni sejak masa turunya wahyu pertama hingga terakhir). Atau jika jibril telah berkhianat, mengapa Allah tidak memecatnya dari tugasnya sebagai penyampai wahyu?
d.       Al-Qaramithah
Kelompok ini dinisbahkan kepada seorang yang bermukmin di Kufah, Irak, yang bernama Hamdan Ubn al-Asy’ast, dan dikenal luas dengan gelar Qirmith(si Pendek), karna perawakan dan kakinnya sangat menonjol pendeknya. Kelompok ini pada mulanya adalah kelompok yang terpengaruh oleh aliran Syi’ah Islamiyah.(yang sebentar akan makalah jelaskan).
Keyakinan mereka sesat dan sangat ekstrem. Mereka antara lain, menyatakan bahwa Sayiyidina Ali  bin Abi Thalib ra.adlah Tuhan; bahwa setiap teks mempunyai makna lahir dan bathin dan yang penting adalah makna batinya. Mereka menganjurkan kebebasan seks dan kepemilikan wanita dan harta bersama, dengan dalil mempererat hubungan kasih sayang. Mereka juga membatalkan kewajiban shalat dan puasa. Ini antara lain yang menjadikan kelompok induk mereka, yakni syiah islamiyyah pun mengutuk  mereka. Al-Qaramithah pernah berkuasa dibahrain dan Yaman, bahkan dibawah pimpinan Abu Taher al-Qurmuthy, mereka pernah menyebut dan menguasai mekkah pada 930 M. ketika itu mereka menganiaya jamaah haji karna mereka berannggapan bahwa ibadah haji adalah sisa-sisa praktik jahilliah, ber tahawaf  dan menghormati atau mencium Hajar Al-Aswad adalah syirik, dan karna itu mereka merampas Hajar al-Aswad. Mereka pada akhirnya dikalahkan olehh al-Mu’iz al-Fathimy ketika mereka menyerbu kemesir  pada 972 M, lalu dipunahkan sama sekali dibahrain pada 1027 M.
  1. Syi’ah Ismailiyah dan Cabang-Cabangnya
Kelompok Syi’ah Ismailiyah hingga kini masih memiliki pengikut-pengikut setia, namun sebagian dari kelompok-kelompoknya memiliki pandangan-pandangan yang dapat dinilai menyimpang. Kini, Syi’ah Ismailiyah tersebar dalam kelompok minoritas disekian banyak Negara, antara lain Afganistan, India, Pakistan, Suruyah dan Yaman serta beberapa Negara Barat, seperti Inggris dan Amerika Utara.
Kelompok Syi’ah Ismailiyah meyakini bahwa Ismail, putra iamam Ja’far ash-Shadiq, adalah iamam yang menggantikan ayahnya (Ja’far ash-Shadiq) yang merupakan aliran ke enam dari Aliran Syiah secara umum.Memang setelah meninggalnya imam Ja’far sekelompok penganut Syiah percaya bahwa putra beliau, musa al-Kdzim adalah imam ke tujuh, sebagaimana kepercayaan syiah itsna ‘Asyariyah. Sedangkan kelompok lainya memercayai bahwa ismail, kemudian putranya, Muhammad adalah imam sudah ayah mereka, padahal ismail wafat lima tahun sebelum wafatnya sang ayah (Imam Ja’far).
Ismail bin Ja’far ash-Shadiq menurut kelompok ini sebenarnya belum wafat, kelak ia akan tampil kembali dipentas bumi ini. Kedatanganya di nantikan oleh kelompok ismailiyah  sebagaimana kelompok Syiah itsna Asyariayah dan sebagian kelompok ahlusunnah menantikan kehadiran imam Mahdi.
Dari sekian banyak riwayat yang dikemukakan bahwa imam Ja’far telah berupaya untuk menegaskan tentang kematian putranya itu, antara lain dengan menulis keterangan tentang wafatnya yang disaksikan oleh penguasa setempat. Ini agaknya menutup jalan bagi kelompok syiah Ghulat (ekstremis) agar tidak menduga bahwa saat anak akan kembali. Tetapi kendati demikian ada saja pengikut-pengikut syiah yang menyimpang dari ajaran beliau dan lahirlah kelompok pengikut imam Ja’far.[8]

Kelompok pertama adalah Syiah imamiyah (itsna AsyAriyah) yang mempercayai bahhwa Musa al-Kadzim adalah imam ke tujuh setelah ayah beliau, Ja’farash-Shadiq, ini berlanjut pada anak cucunya hingga mencapai secara keseluruhan dua belas imam. Kelompok kedua adalah mereka yang percaya bahwa Ismail, putra Ja’far, adalah imam yang menghilang guna menghindari kejaran penguasa Abbasiyah, tetapi akan datang pada waktunya. Kelompok ketiga adalah pengikut yang percaya bahwa imam Ja’far ash-Shadiq memang menetapkan putra beliau Ismail sebagai imam, tetapi itu untuk menunjukan bahwa putra Ismail yang bernama Muhammad yang menjadi imam sebelum wafatnya imam Ja’far. Kelompok ketiga ini dinamai al-mubarakiyah.

E.     Sekte Sekte Syi’ah Dan Ajarannya
Sekte syiah terbagi dengan beberapa bagian, namun yang dapat di uraikan dalam buku ini hanyalah pada garis besarnya di bagi dalam empat sekte saja yaitu: syiah itsna asyariah, syiah zaydiah, syiah sab’iah dan syiah ghulat, meskipun cabang cabang sekte lain yang terkait akan di sebutkan juga.[9]
  1. Syiah Itsna Asyariah ( Imamiah)
Syiah itsnah Asyariah ( duabelas) adalah salah satu cabang ataau aliran dari syiah imamia yang selain dinilai mempunyai pengikut yang paling ramai, juga sangat besar pengaruhnya dalam dunia islam sampai sekarang, menjadi faham resmi di sebagian besar wilayah Persia(Iran) semenjak permulaan di 10H/16M, yaitu setelah di bawah kesana oleh syiah ismahiliah sampai sekarang.


a.       Pengertian Imamah
Kata imamah berasal dari kata imam, yang berarati ke imamam, kepemimpinan, leadership, pemerintah. Sementara menurut istilah, imam adalah kepemimpinan yang tertinggi dalam masyarakat islam setelah wafatnya nabi Muhammad saw. Adapun pengertian imam secara sempit adalah bermakana imam dalam sholat berjamaah, sedangkan pengertian imam secara luas bermakana al-hukum yaitu pemerintah.
b.      pengangkatan dan pergantian imamah
Sebagai telah di sebut terdahulu bahwa setelah rasulullah saw wafat, timbullah persoalan, siapa gerangan yang berhak menggantikan baginda sebagai pemimpin agama dan umat atau Negara. Timbullah berbagai pandangan di kalangan muslimin. Menurut pandangan kaum syiah, rasulullah dalam sejarah hidupnya senantisa memberikan isyarat itu dapat di lihat, misalanya sewaktu baginda telah hijrah mekah dari medinah, pernah mengutus ali pergi ke mekah untuk mengurus kepentingan pribadinya dan kepentingan umat islam. Demikian pula setelah baginda wafat, alilah yang menjadi penggantinya. Baik dalam hal yang berhubungan dengan hutan masalah pribadi.
Atas dasar inilah, sehingga tidak bisa di bayangkan bahwa nabi Muhammad wafat tampa meninggalkan seseorang sebagai penggantinya untuk mengurus segala permasalahan kaum muslimin dan masyarakat islam pada umumnya.[10]
Dengan demikian, mereka memanadang bahwa imama imam itu tidak terlepas dari diri pribadi Ali bersama keturunannya. Dengan begitu, maka mereka berkeyakinan bahwa, alilah sebagai imam (khalifah) pertama yang ditunjuk oleh rasulullah saw. Sedangkan Abubakar dan Umar, keduanya adalah perampas dan terianayah, dan wajib melepaskan ke khalifahnya.

  1. Syi’ah Zaydiah
Syi’ah Zaydiah adalah dibangun oleh Zayd bin ‘Ali Zayn al-Abidin (w.122 H/740 M).sebagai di sebutkan dalam sejarah Syi’ah bahwa sepeninggal Muhammad al-Baqir (w.113 H/732H). yang dikenal dengan imam ke lima, putra sulun Ali Zayn al-Abidi bin Al-Husainn bin Ali bin Abi Thalib, maka ketika itu syiahh imamiyah terpecah menjadi dua bagian. Satu pihak berpendirian bahwa jawabatan immah mestilah di pegang oleh putra imam ke lima, yaitu Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir (w.148H/766M), yang di kenal denggan panggilan aliran Ja’fariyah atau aliran imam ke enam dalam pada itu Zayd bin Ali, putra bungsu Ali Zayn al-Abidin bin al-Husain berpendirian bahwa dialah yang lebih berhak berpegang jawaban itu. Para zayd bin ali-Zayn al-Abidin itulah yang di kenal syiah Zaydiah.
a.       Pribadi Zayd bin Ali Zayn al-Abidin  (76-122H)
Zayd bin Ali Zayn al-Abidin bin al-Husayn bin Ali bin Abi Thalib, seorang ulama besar dari kalangan tabiin. Ia merupakan buyut Rasulullah, lahir serta berangkat dewasa dari Madinah, dan wafat karna terkenak anak panah pada usia relatif muda, 46 tahun. Ibunya adalah seorang wanita yang berasal dari lembah sind, Pakistan Barat sekarang, yang ditawan pada penakluk wilayah itu, lalu dibawah ke Madinah bersama tawanan lainya, kemudian di beli oleh Ali Zayn al-Abidin bin al-Husayn dan dimerdekkan kemudian dijadikan istrinya.
b.      Perjuangan Zayd bin Ali Menuntut hak Ahl al-Bayt
Zayd bin Ali banyak mendapat tantangan, yang pada awal terutama dari keluarga sendiri, yaitu saudaranya Muhammad al-Baqir yang mejabat imam ke-5. Al-Baqir mencela Zayd karena pergi belajar kepada washil bin atha, yang terkenal Penghu Mu,tajilah. Celan itu timbul karna washil di nilai oleh al- Baqir  tidak memihak pada nenek moyang Ali bin Abi Thalib, terutama ketika terjadinya perang jamal antara Ali dengan Aisyah yang didukung oleh jubai dan talhah demikian juga peran siffin antara Ali dengan Mu’awiyah .

c.       Beberapa Pendirian Penting Syi’ah Zaydiah
Pendirian Syi’ah Zaydiah terutama yang dicetuskan oleh pendirinnya, Zayd bin Ali dalam pandanganya tentang permasalahan imamah, ia berpendirian bahwa imamah itu adalah hak Ali bin Abi Thalib beserta keturunanya dari pihak istrinya fatimah binti Rasulullah. Dengan pendirinya itu, maka hak imamah itu kanlah hak Muhammad bin al-Hanafiyah beserta keturnanya. Dengan begitu maka ia menolak pendirian sekte Syiah Kaysaniya.
  1. Syi’ah Sab’iyah  (Isma’iliyah)
Syi’ah Sab’iyah atau syiah tujuh yang biasa disebut syiah isma,iliyah adalah sekte aliran islam syiah yang sering kali menimbulkan pemahaman yang ukuran tepat. Persona aliran ini tidak terletak pada elemenya yang dasar, melainkan terletak pada ajaran metafikanya yang karakteristik. Dalam hal ini menurut sebagian pengamat, sekte ini merupakan perwujudan sistem keagamaan bangsa Persia ke dalam islam. Dengan begitu maka kaum sekte ini memberikan bentuk luarnya, yakni teknis dan peristilahan, namun inti atau sentral dari sekte ini bersumber dari ajaran keagamaan kuno bangsa Persia.
  1. Nama Nama Syi’ah Sab’iyah
Sebagai diketahui bahwa Syi’ah Sab’iah hanya mengakui tujuh imam, yaitu hanya sampai kepada keturunan Ali yang ketujuh yang bernama Isma’il anak dari Ja’far al-Shadiq, imam yang ke enam, penetapan sampai kepada angka tujuh itu mempunyai alasan tersendiri, yaitu didasarkan pada bilangan ke tujuh sebagaimana bilangan sesuatu yang terdapat di dunia ini, seperti adanya tujuh nama hari yang kita kenal, begitu juga kata tujuh yang disebut Allah dalam al-Qur’an, seperti tujuh langit dan sebagainya sehingga mereka berkeyakinan bahwa imam sesudah ismai’il tidak akan ada lagi.
b.  Cabang-Cabang Syi’ah Sabiah dan Ajarannya
1)      Qaramitha
Qaramitha adalah nama salah satu cabang Syi,ah Tujuh yang di anggap fase, pertama, yakni muncul setelah lebih satu abad kematian ismai,il putra Ja’far al-Shadiq pada tahun 145 H. Qaramitha yang merupakan gerakan Syi’ah Tujuh yang bercorak kebatinan ini terbentuk sekitar 227 H/890 M, dan diberi nama berdasarkan nama pemimpin gerakan ini, yakni hamdan al-Qaramithi. Adapun pokok pokok ajaran Qaramitha yaitu antara lain
2)      Tata Cara Berdakwah
Istilah berdakwah dalam ajaran Qaramitha terlebih tepat difahami sebagai proganda sebab ajaran berdakwah bagi Qaramitha adalah dilaksanakan dengan metode persuasif.
3)      Illahiyah
Mengenai ajaran Illahiyah ini, qaramitha tampaknya sangat dipengaruuhi oleh faham Neoplatonisme dan pembahasan filosof  Upanishad darai agama barhamana. Dalam hal ini, kaum Qaramitha terpengaruh oleh teori emansai (pancaran pengaliran) yang mengatakan bahwa alam ini merupakan rangkaian pancaran dari zat yang Maha Ada, tetapi alam semesta ini merupakan pancaran yang pertama , sebab yang pertama adalah akal mutlak, yang memancarkan lagi jiwa mutlak. Ketiganya (zat Yang Maha Ada, akal mutlak dan jiwa mutlak) disebut trinitas Maha Gaib. Adapun tentang imam, menurutnya itulah merupakan cahaya Allah dimuka bumi atau bayangan Allah yang kelihatan atau mazhhar Allah.
4)      Nubuwwah
Nubuwwah artinya kenabian atau pemberitaan, yaitu pemberitaaan tentan alam gaib, begitu pula masa depan dengan ilham sedangakan yang dimaksud dengan nabi adalah seseorang yang memperoleh limpahan kudrah al-qudsiyyah al-sahafiyyah (suci lagi murni) dari Allah melalui Akal Pelimpahan.
5)      Imamah
Dalam masalah imamah ini, seorang tokoh Isma’iliyah di India Dr. Zahid Ali sebagaimana dikutip oleh Joesoef sou’yb menyatakan bahwa kalimat akidah dalam islam Laailahaillallah bermakna, (Tiada Satupun Pujaan Kecuali Allah), istilah dimaknakan dengan La Imama Illa Immam Zaman bermakna (Tiada Satupun Ikutan Kecuali Imam al-Zaman).
6)      Syariat
Dalam masalah syariat ini, mereka berpendapat bahwa setiap kalimat dalam al-Qur’an dan hadis, mempunyai pengertian lahiriyah dan pengertian batiniyah dan pengertian batiniah lebih dalam dan lebih rahasia.[11] Mereka menyatakan bahwa pengertian lahiriyah itu diperuntukan kedalam al-juhala (orang-orang selain kaum isma’iliyah), sedangkan pengertian batiniah diperuntukan kepada al-uqala (kaum ismai’liyah), maka setiap kalimat itu merupakan rumusan isyarat bagi hakekat masyarakat yang bersifat tersembunyi.
7)      Kiamat
Mereka menolak pengertian kiamat dengan kebangkitan setelah alam ini hancur, sebab menurutnya, susunan alam yang sekarang ini, pengertian siang dan malam, kelahiran manusia dan hewan akan tetap berlangsung selama lamanya.
  1. Fatyimiah
Dinasti fathimiah dibangun oleh Sa’id bin al-Husayn (Abdullah al-Mahdi) (w.322 H/934 M). pada tahun 290 H, ia berangkat dari sulaimaniyah daerah timur Syiriah menuju Afrikka Utara dan Afrika Barat untuk memimpin gerakan bawah tanah pihak isma’iliyah, dan pada masa itu belum di kenal sebutan Fatimiyah. Adapun pokok pokok ajaran fatimiyah ini antara lain sebagai berikut:
a)      Al-matsal mereka artikan dengan fenomena yang nyata menyelamatkan diri dari bentuk terbatas  dari seluruh yang disaksikan.
b)      Tubuh yang sholat menghadap kekiblat (kabah) sedangkan ingatannya mengarah ke imam.
c)      Orang yang mati cuma berarti tubuhnya kembali ke tanah, sedangkan jiwanya sebagai kudrah rohani terbebas daripada kungkungan.
d)     Imam itu memperileh kekuasaan memerintah dari malaikat, memeperoleh kudrah dari rohani yang mengawasi alam semesta ini.
  1. Syi’ah Gulat
  1. Pengertian Syi’ah Gulat
Syi’ah gulat ialah Syi’ah yang berpendirian sangat keterlaluan, melampau batas keyakinan umat Islam pada umumnya, dan batas hukum syariat yang paling mendasar dalam Islam, karna mereka mempertaruhkan (menganggap Tuhan) para imam meraka, seperti Ali dan keturunaya. Disamping itu menghalalkan segala yang dilarang oleh Allah dan menggurkan segala kewajiban Syariat.
b.  Sekte Sekte Syi’ah Gulat
1.      Saba’ah
Golongan sab’ah ini adala pengikut Abdullah bin Saba, yang masuk Islam pada masa, Utsman bin Affan (23-25 H), yang ajaranya sangat merusak kemurnian ajaran Islam seperti ia meng-ghulat Ali, dengan mengatakan bahwa Ali adalah Nabi, bahkan di anggap sebagai Tuhan.
2.      Bayaniah
Sekte bayaniah ini menurut al-baghdadi dinisbkan kepada Bayan bin Sam’an al-Tamimi al-Mahdi, al-Yamani. Ia muncul di irak pada abad ke dua H, dan mendakwahkan bahwa sifat ketuhanan itu turun dari Ali, kemudian kepada Muhammad bin al-Khalifah, kemudian kepada anaknya, Abu Hasim lalu kepada dirinya. Selepas itu ia mendakwahkan dirinya sebagai Nabi.
3.      Munghirah
Sekte munghirah ini di pelopori oleh al-Mughirah bin Sa’id al-Ajali seorang tukang sihir karna meninggal di bakar oleh khalik al-Qashri pada tahun 199 H. faham yang pertama di munculkan oleh al-Munghirah ialah masalah imamah, bahwa imam sesudah Ali adalah al-Hasan dan al-Husayn sampai kepada cucunya Muhammad bin Abdillah sebagai al-Mahdi al-Muntazhar, dan yang di anggap al-Mahdi itu sama dengan Nabi Muhammad.


F.     Konflik antara Syiah dan Sunni
Konflik Syiah dan Sunni makin mengemuka dalam beberapa tahun terakhir di kawasan Timur Tengah, setelah meletusnya perang saudara di Suriah dan Yaman, kehadiran kelompok Islamic State di Suriah dan Irak, dan terakhir eksekusi seorang ulama Syiah oleh Arab Saudi. Puncak dari konflik ini adalah keputusan Saudi, yang mayoritas Suni, untuk memutus hubungan diplomatik dengan negara Syiah, Iran.
Iran, satu-satunya negara non-Arab di kawasan Teluk, memang acap kali dianggap sebagai musuh bersama sehingga pada 1980an ketika terjadi perang panjang Iran-Irak, banyak negara Arab yang mendukung Irak. Namun sebetulnya komunitas Syiah tersebar di banyak negara, termasuk Irak, Lebanon, dan Arab Saudi sendiri. Dan sesungguhnya, perbedaan Syiah-Sunni tersebut jika ditelusuri sudah mengemuka di abad ke-7.

Apa penyebab perpecahan?
Dua aliran tersebut muncul setelah Nabi Muhammad wafat pada 632 Masehi. Beliau wafat tanpa sempat menunjuk seorang pengganti untuk memimpin umat Muslim, dan muncul perdebatan siapa yang pantas menjadi pemimpin agama yang ketika itu masih baru dan berkembang pesat. Sebagian meyakini bahwa pemimpin yang baru harus dipilih lewat konsensus; yang lain mengatakan hanya keturunan Nabi yang pantas menjadi khalifah. Maka ditunjuklah sahabat Nabi yang paling dipercaya, Abu Bakar, walaupun sebagian beranggapan tongkat estafet seharusnya diserahkan kepada Ali, sepupu sekaligus menantu Nabi. Ali pada akhirnya memang menjadi khalifah setelah dua pengganti Abu Bakar meninggal karena dibunuh. Setelah Ali juga dibunuh musuh-musuhnya, dengan sebuah pedang beracun di sebuah masjid di Kufa yang sekarang menjadi Irak, dua putranya Hasan dan Hussein menjadi khalifah. Namun Hussein dan banyak kerabatnya kemudian dibunuh di Karbala, Irak, pada 680. Wafatnya Hussein sebagai syuhada menjadi penguat bagi mereka yang meyakini bahwa Ali adalah khalifah penerus langsung Nabi. Para pengikut ini kemudiah dikenal sebagai kelompok Syiah, kependekan dari frase "Syiah Ali", atau para pengikut Ali.
Kata Suni berasal dari frase "Ahl al-Sunna", orang-orang yang mengikuti sunah Rasul. Kelompok Suni menganggap tiga kalifah pertama sebelum Ali sebagai penerus dan penyampai Sunah Rasul yang sesungguhnya. Para penguasa Suni juga mampu memperluas kekhalifahan hingga ke Afrika Utara dan Eropa. Kekhalifahan terakhir terhenti seiring runtuhnya Kerajaan ottoman para Perang Dunia I.

G.    Perbedaan Syiah dan Sunni
Aliran Suni dan Syiah masing-masing memiliki spektrum yang sangat luas tentang doktrin, opini, dan ajaran. Dalam banyak aspek tentang Islam, mereka sependapat, yaitu hanya ada satu Allah, Muhammad adalah nabi terakhir dan Alquran adalah kitab suci terakhir. Namun ada banyak hal yang membuat kedua pihak berbeda pendapat. Syiah menganggap Ali dan para pemimpin sesudahnya sebagai Imam. Sebagian besar menganggap ada 12 Imam, yang terakhir adalah seorang bocah laki-laki yang diyakini menghilang setelah ayahnya dibunuh.

Perbedaan antara Sunni dan Syiah yang Mendasar
Dunia Islam dewasa ini terutama di Timur Tengah di goncangkan oleh peperangan sektarian antara Islam Suni dan Syi’ah. Masjid bukan lagi tempat yang aman untuk beribadah. Sering kita dengar Masjid Suni yang diledakan oleh kaum Syi’ah demikian pula kita dengar masjid kaum Syiah diledakan oleh kaum Suni. Kita yang awam ini jadi terheran heran , mengapa sesama Islam saling bunuh dan serang.
Perpecahan antara Islam Sunni dan Syiah telah memporak porandakan beberapa negara di Timur tengah seperti Syuriah, Irak, Yaman dan lain lain. Ada kekuatiran perpecahan ini akan meluas ke Negara lain yang terdapat pengikut Sunni dan Syiahnya . Di Indonesia dengan semakin banyaknya pengikut Syiah , aroma perpecahan itupun mulai terasa pula.
Kita di Indonesia ini belum banyak yang tahu tentang perbedaan aliran Suni dan Syi’ah ini. Syi’ah sudah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka, hanya saja mereka merupakan kelompok minoritas , sehingga kita tidak banyak tahu tentang aliran Syi’ah ini.  Selama ini tidak pernah ada masalah antara Islam Sunni dan Syi’ah di Indonesia karena sebagian besar umat Islam di Indonesia menganggap Sunni dan Syi’ah itu sama.
Banyak orang yang menyangka bahwa perbedaan antara Islam Sunni  dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) hanya  sekedar dalam masalah khilafiyah Furu’iyah saja , seperti halnya  perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah, atau  antara Madzhab Syafi’i dengan Madzhab Maliki.
Karena itu  dengan adanya ribut-ribut masalah Sunni dengan Syiah, ada yang  berpendapat agar perbedaan pendapat tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Selanjutnya mereka berharap, apabila antara NU dengan Muhammadiyah bisa diadakan pendekatan-pendekatan demi Ukhuwah Islamiyah,  mengapa antara Syiah dan Sunni tidak bisa dilakukan pendekatan yang sama pula ?
Apa yang mereka harapkan tersebut, tidak lain dikarenakan minimnya pengetahuan mereka mengenai aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Sehingga apa yang mereka sampaikan hanya terbatas pada apa yang mereka ketahui. Semua itu dikarenakan kurangnya informasi pada mereka, akan hakikat ajaran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Sedangkan apa yang mereka kuasai, hanya bersumber dari tokoh-tokoh Syiah yang sering berkata bahwa perbedaan Sunni dengan Syiah hanyalah  seperti perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzhab Syafi’i.
Padahal perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzhab Syafi’i, hanya terjadi  pada  masalah Furu’iyah saja pada masalah Ushuul sama tidak ada perbedaan . Sedang perbedaan antara Sunni  dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah),  disamping dalam masalah Furuu’ juga terjadi perbedaan pada  masalah Ushuul.(pokok).
Rukun Iman Syi’ah  berbeda dengan rukun Iman Sunni , rukun Islamnya juga berbeda, begitu pula kitab-kitab hadistnya juga berbeda, bahkan sesuai pengakuan sebagian besar ulama-ulama Syiah, bahwa Al-Qur’an mereka juga berbeda dengan Al-Qur’an yang digunakan Sunni. Apabila ada dari ulama mereka yang pura-pura (taqiyah) mengatakan bahwa Al-Qur’annya sama, maka dalam menafsirkan ayat-ayatnya sangat berbeda dan berlainan. Sehingga tepatlah apabila ulama-ulama Sunni mengatakan : Bahwa Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) adalah satu agama tersendiri yang berbeda dengan Islam Sunni.
Melihat pentingnya persoalan tersebut, maka di bawah ini kami nukilkan sebagian dari perbedaan antara aqidah Sunni  ( Ahlussunnah Waljamaah) dengan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah).

1)      Rukun Islam
Rukun Islam Sunni (Ahlussunah waljamaah) ada 5 yaitu
1.      Membaca dua kalimah sahadat (syahadatain)
2.      Mengerjakan Shalat
3.      Mengerjakan Puasa
4.      Menunaiakan zakat
5.      Menunaikan Hajji

Rukun Islam Syi’ah juga 5 tapi berbeda
1.      Mengerjakan Shalat
2.      Mengerjakan Puasa
3.      Menunaikan Zakat
4.      Menunaikan haji
5.      Al Wilayah

2)      Rukun Iman
Rukun Iman Sunni (Ahlussunnah) ada enam:
1.      Iman kepada Allah
2.      Iman kepada Malaikat-malaikat Nya
3.      Iman kepada Kitab-kitab Nya
4.      Iman kepada Rasul Nya
5.      Iman kepada Yaumil Akhir / hari kiamat
6.      Iman kepada Qadar, baik-buruknya dari Allah.


Rukun Iman Syiah ada 5 :
1.      At-Tauhid
2.      An Nubuwwah (kenabian)
3.      Al Imamah
4.      Al Adlu
5.      Al Ma’ad (Kiamat)

3)      Syahadat
Sunni (Ahlussunnah) mempunyai Dua kalimat syahadat, yakni: “Asyhadu An La Ilaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah”. Syiah mempunyai tiga kalimat syahadat, disamping “Asyhadu an Laailaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, masih ditambah dengan menyebut dua belas imam-imam mereka.

4)      Imamah
Ahlussunnah meyakini bahwa para imam tidak termasuk rukun iman. Adapun jumlah imam-imam Ahlussunnah tidak terbatas. Selalu timbul imam-imam, sampai hari kiamat.Karenanya membatasi imam-imam hanya dua belas (12) atau jumlah tertentu, tidak dibenarkan.
Syiah meyakini ada dua belas imam-imam mereka, dan termasuk rukun iman. Karena itu orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas imam-imam mereka (seperti orang-orang Sunni), maka menurut ajaran Syiah orang tersebut  kafir dan akan masuk neraka.

5)      Khulaufarasyidin
Ahlussunnah mengakui kepemimpinan khulafaurrosyidin adalah sah. Mereka adalah: a) Abu Bakar, b) Umar, c) Utsman, d) Ali radhiallahu anhum.
Syiah tidak mengakui kepemimpinan tiga Khalifah pertama (Abu Bakar, Umar, Utsman), karena dianggap telah merampas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (padahal Imam Ali sendiri membai’at dan mengakui kekhalifahan mereka). Merekapun meyakini bahwa Abu bakar, Umar dan Ustman  sudah murtad dan keluar dari islam sesudah wafatnya Rasulullah.

6)      Kemaksuman Para Imam
Ahlussunnah berpendapat khalifah (imam) adalah manusia biasa, yang tidak mempunyai sifat Ma’shum. Mereka dapat saja berbuat salah, dosa dan lupa, karena sifat ma’shum, hanya dimiliki oleh para Nabi. Sedangkan kalangan syiah meyakini bahwa 12 imam mereka mempunyai sifat maksum dan bebas dari dosa.

7)      Para Sahabat
Sunni (Ahlussunnah) menghormati para sahabat seperti Abu bakar, Umar dan Ustman dan melarang mencaci-maki beliau . Sedangkan Syiah mengangggap bahwa mencaci-maki dan melaknat  para sahabat tidak apa-apa, bahkan berkeyakinan, bahwa para sahabat tersebut telah murtad setelah wafatnya Rasulullah SAW dan tinggal  beberapa orang saja. Alasannya karena para sahabat membai’at  Sayyidina Abu Bakar sebagai Khalifah.

8)      Sayyidah Aisyah 
Sayyidah Aisyah istri Rasulullah sangat dihormati dan dicintai oleh Ahlussunnah. Beliau adalah termasuk ummahatul Mu’minin. Sebaliknya  Syiah melaknat dan  mencaci maki Sayyidah Aisyah, memfitnah bahkan mengkafirkan beliau.

9)      Kitab Kitab Hadits
Kitab-kitab hadits yang dipakai sandaran dan rujukan Ahlussunnah adalah Kutubussittah: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidz, Sunan Ibnu Majah dan Sunan An-Nasa’i. (kitab-kitab tersebut beredar dimana-mana dan dibaca oleh kaum Muslimin sedunia).
Kitab-kitab hadits Syiah hanya ada empat : a) Al Kaafi, b) Al Istibshor, c)Man Laa Yah Dhuruhu Al Faqih, dan d) Att Tahdziib. (Kitab-kitab tersebut tidak beredar, sebab kebohongannya takut diketahui oleh pengikut-pengikut Syiah).
10)  Al-Qur’an
Menurut Sunni ( Ahlussunnah) kitab Al-Qur’an yang ada sekarang  tetap orisinil dan tidak pernah berubah atau diubah. Sedangkan syiah menganggap bahwa Al-Quran yang ada sekarang ini tidak orisinil. Sudah dirubah oleh para sahabat (dikurangi dan ditambah).

11)  Syurga
Menurut Sunni Surga diperuntukkan bagi orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul Nya. dan Neraka diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak taat kepada Allah dan Rasul Nya. Menurut Syiah, surga hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang cinta kepada Imam Ali, walaupun orang tersebut tidak taat kepada Rasulullah. Dan neraka diperuntukkan bagi orang-orang yang memusuhi Imam Ali, walaupun orang tersebut taat kepada Rasulullah.

12)  Raj’ah
Aqidah raj’ah tidak ada dalam ajaran Sunni ( Ahlussunnah.)  Raj’ah ialah besok di akhir zaman sebelum kiamat, manusia akan hidup kembali. Dimana saat itu Ahlul Bait akan balas dendam kepada musuh-musuhnya.
Raj’ah adalah salah satu aqidah Syiah, dimana diceritakan bahwa nanti diakhir zaman, Imam Mahdi akan keluar dari persembunyiannya. Kemudian dia pergi ke Madinah untuk membangunkan Rasulullah, Imam Ali, Siti Fatimah serta Ahlul Bait yang lain. Setelah mereka semuanya bai’at kepadanya, diapun selanjutnya membangunkan Abu Bakar, Umar, Aisyah. Kemudian ketiga orang tersebut disiksa dan disalib, sampai mati seterusnya diulang-ulang sampai  ribuan kali, sebagai balasan atas perbuatan jahat mereka kepada Ahlul Bait.
Orang Syiah mempunyai Imam Mahdi sendiri, yang berlainan dengan Imam Mahdi yang diyakini oleh Ahlussunnah, yang akan membawa keadilan dan kedamaian.


13)  Nikah Mut’ah
Nikah Mut’ah (kawin kontrak),menurut Sunni sama dengan perbuatan zina dan hukumnya haram. Sementara dalam Syiah nikah Mut’ah  sangat dianjurkan dan hukumnya halal. Halalnya nikah Mut’ah ini dipakai oleh golongan Syiah untuk mempengaruhi para pemuda agar masuk Syiah. Padahal haramnya Mut’ah juga berlaku di zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib.

14)  Khamar
Khamer (arak) najis menurut Ahlussunnah. Menurut Syiah, khamer itu suci.

15)  Air Bekas Istinja’
Air yang telah dipakai istinja’ (cebok) dianggap tidak suci, menurut ahlussunnah (sesuai dengan perincian yang ada). Menurut Syiah air yang telah dipakai istinja’ (cebok) dianggap suci dan mensucikan.

16)  Sedakep
Diwaktu shalat meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri hukumnya sunnah. Menurut Syiah meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri sewaktu shalat dapat membatalkan shalat. (jadi shalat kebanyakan umat Islam di  Indonesia hukum tidak sah dan batal, sebab meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri).

17)  Membaca Amin Sesudah Al-Fatihah 
Mengucapkan Aamiin diakhir surat Al-Fatihah dalam shalat adalah sunnah. Menurut Syiah mengucapkan Amin diakhir surat Al-Fatihah dalam shalat dianggap tidak sah dan batal shalatnya. (Jadi shalatnya Muslimin di seluruh dunia dianggap tidak sah, karena mengucapkan Amin dalam shalatnya).

18)  Taqiyah
Menurut Sunni Taqiyah mengucapkan sesuatu yang berbeda dengan isi hati termasuk perbuatan dusta dan munafik. Menurut Syiah mengucapkan sesuatu yang berbeda dengan isi hati (dusta) , untuk melindungi diri dari musuh dan lawan itu merupakan ibadah .
Taqiyah adalah satu rukun dari rukun-rukun Syiah , seperti halnya shalat. Ibnu Babawaih mengatakan:“Keyakinan kami tentang taqiyah itu adalah dia itu wajib. Barangsiapa meninggalkannya maka sama dengan meninggalkan shalat.”[Al-I’tiqadat, hal.114].
Muhammad Al-Kulaini berkata: “Bertaqwalah kalian kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam agama kalian dan lindungilah agama kalian dengan taqiyah, maka sesungguhnya tidaklah mempunyai keimanan orang yang tidak bertaqiyah. Dia juga mengatakan “Siapa yang menyebarkan rahasia berarti ia ragu dan siapa yang mengatakan kepada selain keluarganya berarti kafir.” .[Al-KafiS 2/371,372 dan 218].
Demikian telah kami nukilkan beberapa perbedaan antara aqidah Sunni (Ahlussunnah Waljamaah)  dan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Harapan kami semoga pembaca dapat memahami benar-benar perbedaan-perbedaan tersebut. Selanjutnya pembaca yang mengambil keputusan (sikap). Masihkah mereka akan dipertahankan sebaga Muslimin dan Mukminin ? (walaupun dengan Muslimin berbeda segalanya).
Sebenarnya yang terpenting dari keterangan-keterangan diatas adalah agar masyarakat memahami benar-benar, bahwa perbedaan yang ada antara Sunni ( Ahlussunnah) dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) itu, bukan hanya dalam masalah  Furuu’ (cabang-cabang agama) tetapi juga dalam masalah  Ushuul (pokok/ dasar agama).
Apabila tokoh-tokoh Syiah sering mengaburkan perbedaan-perbedaan tersebut, serta memberikan keterangan yang tidak sebenarnya, maka hal tersebut dapat kita maklumi, sebab mereka itu sudah memahami benar-benar, bahwa Muslimin Indonesia tidak akan terpengaruh atau tertarik pada Syiah, terkecuali apabila disesatkan (ditipu). Oleh karena itu, sebagian besar orang-orang yang masuk Syiah adalah orang-orang yang tersesat, yang tertipu oleh bujuk rayu tokoh-tokoh Syiah. Mereka mengatakan bahwa Syiah dengan ahlusunah waljamaah itu sama. Tidak sedikit umat Islam yang berhasil mereka pedaya hingga jadi pengikut Syiah.
Perkembangan ajaran Syiah di Indonesia pada akhir akhir ini cukup pesat, banyak pasantren yang siswanya mendapatkan beasiswa dari Iran ketika mereka kembali ke Indonesia ikut menyebarkan ajaran Syiah ini. Dibeberapa tempat benturan antara penganut Syiah dengan Suni juga sudah mulai terjadi, seperti yang terjadi di Sampang Madura . Penyerangan jamaah Adzikra di Sentul oleh mereka yang mengaku dari kelompok Syiah. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia dewasa ini, bagaimana agar benturan benturan ini tidak terjadi dan menimbulkan kekacauan sektarian seperti yang terjadi di Timur Tengah .




















BAB III
KESIMPULAN

Dari penjelasan yang dijelaskan pada bab pembahasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai golongan syi’ah, yaitu antara lain sebagai berikut:
  1. Syi’ah menurut bahasa adalah pendukung atau pembela. Syi’ah Ali adalah pendukung atau pembela Ali. Sunnisme adalah mereka yang senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan Al Qur'an dan hadits yang shahih dengan pemahaman para sahabat, dan tabi’in.
  2. Pendapat mengenai awal mula lahirnya Syi’ah ada dua yaitu:
a.       Sebagian menganggap Syi’ah lahir langsung setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshar di Balai Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu muncul suara dari Bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut kekhalifahan bagi ‘Ali bin Abi Thalib. Sebagian yang lain menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan atau pada masa awal kepemimpinan ‘Ali bin Abi Thalib.
b.      Pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Khalifah ‘Ali dengan pihak pemberontak Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Shiffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa tahkîm atau arbitrasi. Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan ‘Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan ‘Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij.Sebagian besar orang yang tetap setia terhadap khalifah disebut Syî’atu ‘Alî (pengikut ‘Ali).
3.      Dalam lintasan sejarahnya yang panjang, keragaman pendapat yang terdapat pada kelompok Sunni dan Syi’ah pada batas-batas tertentu tidak pernah menyulut terjadinya konflik yang pelik, kecuali setelah isu Sunni-Syi’ah ini dipolitisasi sedemikian rupa untuk menimbulkan perpecahan di tengah-tengah kaum Muslim serta untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Namun, dari sisi pemikiran hukum maupun politik, kalangan Sunni dan Syi’ah sudah terbiasa dengan perbedaan pendapat. Kedua kelompok ini bisa hidup berdampingan dan saling menghormati satu sama lain. Kenyataan ini bisa dilihat dari sikap para ulama kalangan Sunni terhadap ulama Syi’ah dan sebaliknya. Ulama-ulama mu’tabar dari kalangan Sunni menempatkan Ahlul Bait (yang oleh kalangan Syi’ah dijadikan sebagai panutan dan pemimpin mereka) pada kedudukan yang tinggi dan mulia. 




[1] M. Quraish Shihab, Sunnah Syiah Begandengan Tangan!Mungkinkah?, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 57
[2] Muhammad Tijani, Al Syi’ah Hum Ahlu Sunnah Syi’ah Sebenar-benarnya Ahlu Sunnah Nabi SAW, (Jakarta: El Faraj Publishing, 2007), hlm. 37
[3] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa perbandingan (Cet.V; Jakarta UI Press 1986), hlm.75. 
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Cet V; Jakarta: PT Grafindo Perkasa, 1997), hlm. 50. 
[5] Abuddin Nata, Ilmu Kalam Filsafat dan Tasawuf , (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), hlm. 56
[6] Hasbi Ash Shiddieqy, Tauhid Sejarah Dan Pengantar Ilmu / Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm.169.
[7] M. Quraish Shihab, Op.Cit.,hlm. 70
[10] Muslih Fathoni, Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 1994), hlm. 24
[11] Tgk. H.Z.A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah, Jakarta: Bumi Aksara, 1998, hlm. 7

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sarana dan Prasarana Pendidikan

Ma'had Aly