Syiah dan Sunni
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah Islam mencatat
bahwa hingga saat ini terdapat dua macam aliran besar dalam Islam. Keduanya
adalah Ahlussunnah (Sunni) dan
Syi’ah. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa dua aliran besar teologi ini kerap
kali terlibat konflik kekerasan satu sama lain, sebagaimana yang kini bisa kita
saksikan di negara-negara seperti Irak dan Lebanon.
Terlepas dari hubungan
antara keduanya yang kerap kali tidak harmonis, Syi’ah sebagai sebuah mazhab
teologi menarik untuk dibahas. Diskursus mengenai Syi’ah telah banyak
dituangkan dalam berbagai kesempatan dan sarana. Tak terkecuali dalam makalah
kali ini.
Sunni adalah golongan umat
Islam yang berkiblat fiqh pada empat imam (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Hambali,
Imam Syafii). Orang di Indonesia sendiri cenderung memilih mengikuti Imam
Syafii dalam hukum-hukum yang berkaitan dengan fiqh. Dalam makalah ini akan
membahas pengertian, sejarah dan perkembangan, tokoh, ajaran, Sunni dan Syi’ah
dalam perspektif islam pada abad ke XI. Semoga karya sederhana ini dapat
memberikan gambaran yang utuh, obyektif, dan valid mengenai sunni dan
Syi’ah, yang pada gilirannya dapat memperkaya wawasan kita sebagai seorang
Muslim.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Syi’ah dan Sunnisme?
2. Bagaimana sejarah Syi’ah dan Sunnisme
pada abad ke XI?
3. Bagaimana perkembangan Syi’ah dan
Sunnisme?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Syi’ah dan Sunnisme
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna yaitu pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga, bermakna setiap kaum yang berkumpul di
atas suatu perkara. Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang
menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara para sahabat
dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian
pula anak cucu sepeninggal beliau. Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa
pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan
sebagaimana Sunni
juga mengalami perpecahan mazhab.
Syiah artinya pendukung, maksudnya pendukung Ali bin Abi Thalib. Pada akhir
masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, seorang Yahudi yang bernama
Abdullah bin Saba’ menyatakan diri masuk Islam.
Sewaktu masih menganut agama Yahudi ia pernah mengatakan bahwa Yusya’ bin Nun
adalah seorang yang diberi wasiat oleh Nabi Musa untuk melanjutkan memimpin
Bani Israil. Setelah masuk Islam, dia menghembuskan doktrin bahwa Ali telah
menerima wasiat dari Nabi Muhammad sebagai khalifah sepeninggal beliau. Lebih
dari itu Abdullah bin Saba mengajarkan bahwa pada diri Ali itu mengandung unsur
ketuhanan.
Menurut
golongan Ahlu Sunnah Wal Jamaah kaum
Syi’ah adalah kaum ar-Rifadhah, yaitu orang-orang yang menolak dan dinamakan
demikian karena mereka menolak keimanan Abu Bakar dan Umar serta mereka sepakat
bahwa Nabi Muhammad SAW telah menentukan Ali sebagai penggantinya dengan menyebut
namanya dan mengumumkannya terang-terangan. Mereka juga
berpendapat bahwa banyak sahabat Nabi SAW telah sesat, karena mereka
meninggalkan ajaran dan amalan yang diperintahkannya setelah Rosulullah wafat.
Kaum muslimin masih berbeda pendapat dalam menilai golongan syi’ah.
Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa syiah adalah kelompok pemahaman
aqidah aqidah saja, sedangkan sebagian yang lain, berpendapat bahwa syi’ah
adalah paham politik, bahkan sebagian lain lagi berpendapat bahwa bahwa syi’ah tidak
lebih dari perwujudan dari rasa simpati terhadap Ali bin Abi thalib.
Sunni merupakan Ahl al-Sunnah wa
al-Jama'ah atau Ahlus-Sunnah
wal Jama'ah atau lebih sering disingkat Ahlul-Sunnah atau
Sunni. Ahlussunnah adalah
mereka yang senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan Al Qur'an dan hadits
yang shahih dengan pemahaman para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in.
Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut
aliran Syi'ah.
Sunnah
secara harfiah berarti tradisi, Ahl as-Sunnah berarti orang-orang yang secara
konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad SAW, dalam hal ini adalah tradisi
Nabi dalam tuntutan lisan maupun amalan beliau serta sahabat mulia beliau.[1]
Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah
golongan terbesar umat Islam yang menyandarkan amal ibadahnya kepada madzhab
yang empat, yakni: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.[2]
Dalam perkembangan berikutnya muncul gerakan salafiyah yang dilakukan Ibnu
Taimiyah dan diteruskan oleh Muhammad Abdul Wahab dengan gerakan Wahabiyahnya
yang sekarang menjadi madzhab resmi kerajaan Arab Saudi.
B. Sejarah Lahirnya
Syi’ah dan Sunnisme
Dahulu di
zaman Rasulullah SAW. kaum muslimin dikenal bersatu, tidak ada golongan ini dan
tidak ada golongan itu, tidak ada syiah ini dan tidak ada syiah itu, semua
dibawah pimpinan dan komando Rasulullah SAW.
Bila ada
masalah atau beda pendapat antara para sahabat, mereka langsung datang kepada
Rasulullah SAW. itulah yang membuat para sahabat saat itu tidak sampai
terpecah belah, baik dalam masalah akidah, maupun dalam urusan duniawi.
Kemudian
setelah Rasulullah SAW wafat, benih-benih perpecahan mulai tampak dan
puncaknya terjadi saat Imam Ali kw. menjadi khalifah. Namun perpecahan tersebut
hanya bersifat politik, sedang akidah mereka tetap satu yaitu akidah Islamiyah,
meskipun saat itu benih-benih penyimpangan dalam akidah sudah mulai ditebarkan
oleh Ibin Saba’, seorang yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai pencetus
faham Syiah (Rawafid).
Tapi setelah
para sahabat wafat, benih-benih perpecahan dalam akidah tersebut mulai
membesar, sehingga timbullah faham-faham yang bermacam-macam yang menyimpang
dari ajaran Rasulullah SAW.
Saat itu
muslimin terpecah dalam dua bagian, satu bagian dikenal sebagai
golongan-golongan ahli bid’ah, atau kelompok-kelompok sempalan dalam Islam,
seperti Mu’tazilah, Syiah (Rawafid),
Khowarij dan lain-lain. Sedang bagian yang satu lagi adalah golongan terbesar,
yaitu golongan orang-orang yang tetap berpegang teguh kepada apa-apa yang
dikerjakan dan diyakini oleh Rasulullah SAW. bersama sahabat-sahabatnya.
Golongan
yang terakhir inilah yang kemudian menamakan golongannya dan akidahnya Ahlus Sunnah Waljamaah. Jadi golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah golongan
yang mengikuti sunnah-sunnah nabi dan jamaatus shohabah.
Dengan
demikian akidah Ahlus Sunnah Waljamaah
itu sudah ada sebelum Allah menciptakan Imam Ahmad, Imam Malik, Imam Syafii dan
Imam Hambali. Begitu pula sebelum timbulnya ahli bid’ah atau sebelum timbulnya
kelompok-kelompok lainnya.[3]
Akhirnya
yang perlu diperhatikan adalah, bahwa kita sepakat bahwa Ahlul Bait adalah
orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi SAW. dan mereka tidak menyimpang dari
ajaran nabi. Mereka tidak dari golongan ahli bid’ah, tapi dari golongan Ahlus
Sunnah. Zaman Rasulullah SAW Syiah-syiah atau kelompok-kelompok yang ada
sebelum Islam, semuanya dihilangkan oleh Rasulullah SAW, sehingga saat itu
tidak ada lagi Syiah.
Nama atau
terminologi syi’ah tampaknya berbeda dengan nama atau terminologi lainya dalam
sejarah islam, seperti ahlu sunah waljamaah, Asy’ariyah
Mu’tazilah, Maturidiyah, dan lain lain. Nama
tersebut tidak di kenal di masa Nabi Muhammad Saw. Dan para sahabat beliau. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa nama-nama
tersebut adalah firqah atau golongan
dalam islam yang muncul kemudian setelah periode Nabi Saw dan sahabat-sahabat
beliau.
Melalui
kajian-kajian kesejarahannya teranglah bahwa yang disebut dengan Ahlu Sunnah
Wal Jama’ah adalah kelompok yang mengakui khulaufa Al-Rasyidin yaitu Abu Bakar,
Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Tholib sebagai kholifah yang
syah setelah Nabi wafat. Sebaliknya, golongan yang menolak khulafaurasyidin
sebagai khalifah-khalifah yang syah setelah Nabi wafat disebut rafidhah atau
syi’ah. Dan kalau kita amati secara cermat bahwa hampir semua khalifah dari Abu
Bakar sampai ke masa pemerintahan Bani Abbasiyah ternyata membenci mereka yang
mengikuti Ali dan keturunannya, dan mereka tidak dimasukkan sebagai golongan
Ahli Sunnah. Dengan istilah rekayasa nama Ahlu Sunnah ini pula, mereka
seolah-olah ingin menegaskan bahwa syi’ah adalah kelompok besar lain sekaligus
musuh Ahlu Sunnah (untuk diadu domba) sehingga timbullah dua kubu yang berbeda
pasca wafatnya Rasul hingga saat ini, yaitu Sunni dan Syi’ah.
C. Perkembangan
Syi’ah dan Sunnisme
- Syi’ah
Terminologi
syi’ah (sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka) sangat dikenal dan dipahami
pada masa Nabi Saw, pengertianpun sangat jelas baik yang terdapat dalam
al-Qur’an ataupun yang ada dalam hadis Nabi Saw sendiri ataupun pada masa
sesudahnya. Terminology syi’ah selalu dikaitkan dengan sosok
Ali bin bin Abi. Sebagai “symbol” diakui, baik oleh pengikutnya sendiri,
simpatisanya, atau bahkan musuh sekalipun.
Setelah meninggal
dunia akibat pukulan pedang Abdurrahman bin muljam, Syi’ah bin Ali bin Abi
Thalib untuk aklamasi menobatkan Hasan bin Ali bin Abi Thalib untuk memegang
tampuk khalifah menggantikan ayahnya.walaupun secara de jure al-Hasan sah sebagai khalifah namun secara de factor justru Muawiyah bin Abi Sufyan
yang lebih menguasai dan mendominasi roda pemerintahan dewasa itu.
Realitas
inilah yang menyebabkan banyak dari Syi’ah Ali bin Abi Thalib berpaling dan
meninggalkan al-Hasan bin Ali, walaupun tadinya mereka ikut membaiatnya sebagai
khalifah. Dengan kondisi rill di masyarakat seperti itu, al-Hasan dengan berat
hati dan demi kepentingan umat, terpaksa mengadakan perdamaian dengan Mu’awiyah
bin Abi Sufyan dengan beberapa syarat yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Perjanjian damai antara Mu’awiyah bin Abi sufyan dengan al-Hasan meninggalkan kufah dan basrah pergi dan menetap di Madinah,
ternyata di langgar sendiri oleh Mu’awiyah. Pada masa pemerintahan syi’ah Ali bin Abi Thalib mengalami masa-masa sulit, lebih kurang dua puluh tahun.
Keadaan ini di alami oleh syi’ah Ali bin Abi Thalib sepanjang masa
pemerintahan Bani Umayyah yang berakhir pada masa pemerintahan Marwan II yang
berkuasa sejak tahun 127-132 H. Walaupun demikian, eksistensi Ali bin Abi
Thalib masih tetap terjaga melalui iman-iman mereka sampai abad pertengahan
hijriah.
Memasuki
abad ke dua hijriah keadaan tidak jauh berbeda dengan situasi yang mereka
(Syi’ah Ali) alami pada masa-masa sebelumnya, kecuali pada akhir seper tiga
abad ke 2 H. Abu Muslim al-Marwaziyyang mendapat dukungan dari masyarakat,
berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Umayyah. Dimana pada hari-hari pertama kekuasaanya, Syi’ah Ali bin Abi Thalib
diperlakukan dengan baik dan dengan penuh rasa hormat. Namun keadaan ini tidak
berlangsung lama, Syi’ah Ali bin Abi Thalib mulai
lagi dengan diintimidasi, demikian juga dengan para pengikut dan simpatisan
mereka. Secara keseluruhan kondisi yang ada pada masa pemerintahan Bani
Abbasiyah tidak juga berbeda dengan kondisi pemerintahan yang ada pada masa
Bani Umayyah, dimana Syi’ah Ali bin Abi
Thalib, pengikutnya dan para simpatisan mereka, masihh tetap mengalami penindasan
dan pengejaran.
Pada abad ke
3 H. Syi’ah Ali bin Abi Thalib, sedikit mendapat anginan segar untuk mendakwakan dan mengembangkan
ajaran-ajaran mereka. Kondisi ini di karenakan adanya perubahan politik penguasa (al-Ma’mun bin Harun
ar-Rasyid) pada saat itu. Sebagaimana di
maklumi bahwa al-Ma’mun bin Harun ar-Rasyid adalah
salah seorang khalifah dari Bani Abbas yang mengutamakan kebebasan berfikir,
karena memang ia adalah seorang penganut mazhab Mu’tazilah. Pada masanya, para ilmuan mendapat tempat yang sangat terhormat.
Peembahasan-pembahasan ilmiah yang
argumen dan rasional sangat di apresiasi olehnya. Kondisi politik pemerintahan tersebut tidak
disia-siakan oleh Syi’ah Ali bin Abi Thalib dan para
pengikut mereka dalam rangka mengembangkan mazhab Syi’ah Ali yang mereka anut.
Majelis ilmu mereka dirikan di berbagai penjuru kota untuk mengadakan dialog
dengan para ilmuan lainya dari berbagai macam kelompok dewasa itu.
Memasuki
abad ke 4 H. seiring dengan melemahnya kekuasaan dinasti Abbasiyah, Syi’ah Ali
bin Abi Thalib mendapat kesempatan emas untuk menggembangkan mazhab mereka.
Sehingga, pada saat itu, mayoritas penduduk yang berada di wilayah zajirah
Arab, mulai tertarik dan ikut mazhab Syi’ah Ali bin Abi Thalib. Sehingga kota basrah menjadi pusat Ahlu sunah wal jamaah pun ikut
terpenggaruh dengan perkembangan Syi’ah Ali bin Abi Thalib, walaupun tidak
seperti kota kufah yang menjadi pusat mazhab Syi’ah Ali. Perkembangn Syi’ah Ali pada
abad ke 4 H ini. Justru sampai di teluk Persia dan kota-kota yang ada di Iran.
Bahkan mesir berhasil dikuasai oleh dinasti Fatimiyah yang bermahzab Syi’ah.
Zaman
keemasan berkembang Syi’ah Ali bin Abi Thalib tersebut tampaknya berlanjut
sampai abad ke 5 H, bahkan hinggga abad ke-9 H. hal ini dipahami karna dalam
menjalankan dan menyebarkan misinya, Syi’ah Ali selalu didukung penguasa saat
itu yang memang telah menganut mazhab Syi’ah Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi,
setelah dinasti fatimiyyah runtuh dan digantkan oleh dinasti al-Ayyubiyah para
pengikut Syi’ah Ali bin Abi Thalib mulai lagi mendapat tekanan dari penguasa
yang tidak semazhab denggan mereka, sehingga mereka tidak lagi bebas untuk
menyebarkan mazhab Syi’ah Ali yang mereka anut.
Pada abad
berikutnya, yaitu abad ke 10 H sampai dengan abad ke 11 H, perkembangan Syi’ah
Ali bin Abi Thalib memasuki fase yang baru dan sangat berbeda dengan abad-abad
sebelumnya.[4] Kalau
pada abad-abad sebelumnya, Syi’ah Ali bin Abi Thalib selalu mengalami pasang surut dalam perkembanganya, maka pada abad ini (10
H-11 H), Syi’ah Ali berhasil mendirikan sebuah Negara Syi’ah yang mandiri yang
berbentuk kerajaan, di mana semua aparat harus bermahzab Syi’ah. Keberhasilan mendirikan
sebuah Negara sebagaimana telah di jelaskan di atas
dimotori oleh Syah Ismail Syafawiy.
Pada tahun 906 H beliau berhasil membebaskan Iran dari penguasaan dinasti
utsmaniayah, dan juga berhasil mewujudkan keinginan untuk menjadikan Iran
sebagai suatu kerajaan yang bermahzab Syi’ah Imamiyah dewasa itu.
Pada abad
ke-12 H hingga abad ke-14 H, mazhab Syi’ah berkembang menembus berbagai macam
suku bangsa dan Negara. Apalagi setelah kemenangan revolusi Iran dimana mazhab
Syi’ah Ali bin Abi Thalib dijadikan sebagai mazhab resmi Negara. Dengan
kebebasan berfikir dan kebebasaan mengeluarkan pendapat yang dianut oleh
sebagian besar penduduk dunia dewasa ini, tampaknya mazhab Syi’ah mendapatkan
lahan yang subur di kebanyakan Negara yang mayoritas penduduknya beragam islam,
suatu realitas yang tidak pernah ditemukan pada abad dan tahun-tahun
sebelumnya.
Dewasa ini
penganut mazhab Syi’ah mulai dari jazirah Arab, Irak, Iran, Yaman dan Indonesia
serta Negara-negara mayoritas penduduk Islam, di perkirakan lebih dari tiga
ratus juta jiwa. Perkiraan penganut mazhab ini akan bertambah seiring banyaknya
literatur Syi’ah yang sangat digandrungi oleh para ilmuan dan mahasiswa yang
ada pada perguruan-perguan tinggi, khususnya di Indonesia, yang kemudian dapat
menjadikan mereka menjadi pengagum, simpatisan, dan bahkan dapat menjadi
penganut mazhab Syi’ah itu sendiri.
- Sunnisme
Akar
perkembangan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai aliran, sekte atau paham
keagamaan dapat dilacak dari fenomena kemunculan berbagai golongan (firqah)
di kalangan umat Islam pada masa Khulafa al-Raasyidiin. Lahirnya
firqah-firqah ini mula-mula berlatar belakang politik, yakni problem politik
pasca Nabi. Pertentangan berdasarkan
politik yang muncul saat itu adalah Anshar, Muhajirin, dan Ahl Bait
sebagai salah satu pecahan dari Muhajirin.
Konflik politik
kembali muncul ketika Ali menggantikan posisi Usman yang terbunuh dalam
serangkaian pemberontakan. Muawiyah bin Abu Sufyan, kerabat Usman yang menjadi
gubernur di Syam menuduh Ali sebagai provokator pemberontakan dan menuntutnya
bertanggung jawab atas kematian Usman. Dengan alasan yang sama, Aisyah istri
nabi yang berkoalisi dengan mantan pendukung Ali, yakni Talhah dan Zubair,
secara terang-terangan juga menyatakan oposisi terhadap Ali.[5]
Pertentangannya dengan
kelompok Aisyah menimbulkan perang Jamal yang pada akhirya Talhah dan
Zubair gugur dalam perang tersebut. Sedangkan pertikaian Ali dengan Muawiyah
berpuncak pada perang Shiffin yang berakhir dengan dilaksanakannya takhkim
(Arbitrase). Sebagian pendukung Ali yang kecewa terhadap Takhkim
menjelma menjadi kelompok baru yang radikal dan dikenal dengan Khawarij.[6]
Mengiringi
rentetan konflik masalah khilafah yang berkepanjangan itu, timbullah
serangkaian konflik yang berkaitan erat dengan akidah sebagi basis
legitimasi masing-masing pihak. Kelompok pendukung Ali (Syi’at Ali) yang
kemudian disebut dengan Syi’ah berkembang menjadi kelompok yang sangat
fanatik. Mereka berpendirian bahwa ketiga khalifah pendahulu Ali, Muawiyah ,
maupun Bani Abbas, pada hakikatnya telah merampas hak Ali.
Sementara itu kaum
Khawarij berpendapat bahwa Ali maupun Muawiyah telah melanggar hukum Tuhan
dengan melakukan Takhkim. Menurut mereka, pelanggaran terhadap hukum tuhan
adalah dosa besar dan pelakunya adalah kafir.
Kemudian
pada saat itu, muncul pihak ketiga yang tidak sependapat dengan mereka, yakni Murji’ah (menunda
atau menunggu). Mereka menyatakan,
pihak-pihak yang berseteru itu semuanya tetap mukmin, namun siapa di antara
mereka yang salah dan siapa yang benar tidak diketahui dengan pasti, karena itu
mereka abstain dan menyerahkan keputusan hukumnya kepada Allah SWT.
Terkait
dengan kelompok Sunni, keragaman pendapat dalam kelompok ini di bidang fikih,
ushul fikih, kalam dan bidang-bidang lain juga sangatlah kaya. Di bidang fikih,
berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali, Zhahiri, dan lain
sebagainya. Di bidang ilmu tauhid berkembang pemikiran Imam Asy’ari, Maturidi,
Thahawi, Bazdawi, Asnawi, Isyfiraini, al-Ghazali, dan lain sebagainya. Walaupun
dalam banyak persoalan mereka berbeda pendapat, para ulama Sunni telah
menggariskan pokok-pokok keimanan yang tidak boleh diselisihi oleh kaum Muslim;
yakni iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, Hari Kiamat serta qadla dan qadar. Pandangan mereka terhadap
persoalan Imamah atau Khilafah juga beragam. Hanya saja, seluruh ulama Sunni
mengakui legalitas tiga khalifah sebelum Ali ra. serta mengakui keadilan para
Sahabat Nabi saw. dan hak Kekhilafahan tidak hanya di tangan Ali ra. dan
keturunannya saja meski sebagian mazhab Syafii berpandangan bahwa khalifah
harus dijabat oleh suku Quraisy.
Dalam konteks kalam, pandangan Imam Asy’ari dalam menyikapi ayat-ayat shifat
berbeda dengan pandangan Imam Maturidi. Selain itu, pandangan dan perlakuan
ulama-ulama Sunni terhadap Ahlul Bait selalu bersandarkan pada wasiat
dan pesan Nabi saw. Dalam pandangan ulama Sunni, Ahlul Bait tidaklah
terjaga dari dosa alias ma’shûm sebagaimana Rasulullah saw. Hanya saja, Ahlul
Bait mendapatkan kedudukan dan tempat yang sangat mulia di sisi kelompok
Sunni, sebagaimana para Sahabat besar Nabi saw. yang lain.
Dalam lintasan sejarahnya yang panjang, keragaman pendapat yang
terdapat pada kelompok Sunni dan Syi’ah pada batas-batas tertentu tidak pernah
menyulut terjadinya konflik yang pelik, kecuali setelah isu Sunni-Syi’ah ini
dipolitisasi sedemikian rupa untuk menimbulkan perpecahan di tengah-tengah kaum
Muslim serta untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Namun, dari sisi
pemikiran hukum maupun politik, kalangan Sunni dan Syi’ah sudah terbiasa dengan
perbedaan pendapat. Kedua kelompok ini bisa hidup berdampingan dan saling
menghormati satu sama lain. Kenyataan ini bisa dilihat dari sikap para ulama kalangan
Sunni terhadap ulama Syi’ah dan sebaliknya. Ulama-ulama mu’tabar dari
kalangan Sunni menempatkan Ahlul Bait (yang oleh kalangan Syi’ah
dijadikan sebagai panutan dan pemimpin mereka) pada kedudukan yang tinggi dan
mulia.
Ibnu Syihab az-Zuhri (50-123 H),
misalnya, seorang ulama besar dari kalangan Sunni, memberikan komentar terhadap
Ali Zainal Abidin dengan ungkapan, “Saya belum menyaksikan seseorang yang lebih
ahli dalam bidang hukum daripada Ali bin al-Husain. Hanya saja, beliau ini
sedikit berhadis.”
Ibnu Musayyab, ulama besar Sunni yang lain melukiskan kepribadian Ali
bin al-Husain, “Saya belum menyaksikan orang yang lebih wara’ daripada
beliau.”
Simak juga bagaimana penilaian Muhammad bin Ali atau Abu Ja’far
al-Baqir (w. 133 H) terhadap Abdullah bin Umar (w. 73 H), “Di antara para
Sahabat Rasulullah, tak seorang pun jika mendengarkan sabda Rasulullah saw.
bersikap lebih hati-hati untuk tidak menambahi atau mengurangi daripada
Abdullah bin Umar.” (Ibnu Saad, Ath-Thabaqât, II/125).
Di sisi lain, Imam Ja’far bin ash-Shadiq pernah menjadi guru Imam Abu
Hanifah (w. 150 H) dan Imam Malik bin Anas ra (w. 179 H). Dari kalangan Syiah
Zaidiyah, kaum Muslim juga mengenal Zaid bin Ali ra. Pandangan-pandangan beliau
mengenai syariah, hadis dan para Sahabat besar tidak ada bedanya dengan
pandangan kaum Sunni, kecuali dalam bidang Imamah (kepemimpinan). Zaid
bin Ali (w. 122 H) lahir di Madinah al-Munawarah. Beliau banyak belajar dari
ulama-ulama Sunni terkemuka seperti Said ibn Musayyab, Abu Bakar bin Abdurrahman,
Urwah bin Zubair, Ubaidillah bin Abdillah dan ulama-ulama besar Madinah
lainnya.
Bukti lain yang menunjukkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan Sunni
dan Syi’ah adalah kaum Muslim dari kalangan Sunni dan Syi’ah yang hidup di
daerah Kufah, Yaman dan negeri-negeri Islam lain; mereka bisa hidup
berdampingan dengan damai dan harmonis. Adanya konflik-konflik bersenjata yang
terjadi di dalam sejarah Kekhilafahan lebih diakibatkan karena alasan-alasan
yang bersifat politis, semacam perebutan kekuasaan dan intrik-intrik politik.
D. Kelompok-kelompok besar Syi’ah.
Kelompok utama Syi’ah ini memiliki karakteristik ajaran dan pandangan
syi’ah yang berbeda antara lain adalah sebagai berikut:[7]
- Syi’ah Gulat
Syi’ah
kelompok (ekstremis) ini hampir dikatakan telah punah. Mereka antara lain:
a.
As Sabaiyah
Menurut
asy-Syahrastani, mereka adalah pengikut-pengikut Abdullah bin Saba yang konon
pernah berkata kepada sayyidina Ali: “ Anta
Anta,” yakni Engkaulah adalah Tuhan. Dia juga
mengatakan dan mempopulerkan keyakinan bahwa Sayyidina Ali ra.Memiliki tetesan
ketuhanan. Dia menjelma melalui awan.Guntur adalah suaranya, kilat adalah
senyumnya. Dia kelak akan turun kembali kebumi untuk menegakkan keadilan
sempurna.
b.
Al-Khaththabiyah
Mereka
adalah penganut aliran Abu al-Khaththab al-Asady, yang menyatakan bahwa imam
Ja’far ash-Shadiq dan leluhurnya adalah Tuhan. Imam Ja’far sendiri mengingkari
bahkan mengutuk kelompok ini karna sikap imam Ja’far yang tegas itu, maka
pimpinanya, yakni Abual-Khaththab, mengangkat dirinya sebagai imam. Ia mengajarkan bahwa para nabi adalah Tuhan, bahkan imam Ja’far dan para
leluhur beliau pun dijadikanya Tuhan. Al-Khaththabiyah terbagi juga pada sekian
kelompok yang berbeda-beda. Sebagian di antara mereka percaya bahwa dunia itu
kekal, tidak akan binasa, surga adalah kenikmatan duniawi, mereka tidak
diwajibkan sholat dan membolehkan minuman keras.
c.
Al-Ghurabiyah
Cabang
kelompok ini, antara lain , percaya bahwa sebenarnya Allah mengutus malaikat
Jibriil As. Kepada Ali bin Abi Thalib Ra., tetapi malaikat itu keliru dan
bahkan berhianat sehingga menyampaikan wahyu kepada Nabi. Karna itu mereka
mengutuk malaikat jibril as. Sambil berkata :“ Khana al-Amin/yang dipercaya telah berhianat” Almarhun Ali
Syariati, pemikir Syi’ah kontemporer, berkomentar : “jika salah menyampaikan
wahyu yang pertama kali, mengapa ia mengulangi
kesalahanya selama dua puluh tiga tahun? (yakni sejak masa turunya wahyu
pertama hingga terakhir). Atau jika jibril telah berkhianat, mengapa Allah tidak memecatnya dari tugasnya sebagai penyampai
wahyu?
d.
Al-Qaramithah
Kelompok ini
dinisbahkan kepada seorang yang bermukmin di Kufah, Irak, yang bernama Hamdan
Ubn al-Asy’ast, dan dikenal luas dengan gelar Qirmith(si Pendek), karna perawakan dan kakinnya sangat menonjol
pendeknya. Kelompok ini pada mulanya adalah kelompok yang
terpengaruh oleh aliran Syi’ah Islamiyah.(yang sebentar akan makalah jelaskan).
Keyakinan
mereka sesat dan sangat ekstrem. Mereka antara lain, menyatakan bahwa
Sayiyidina Ali bin Abi Thalib ra.adlah
Tuhan; bahwa setiap teks mempunyai makna lahir dan bathin dan yang penting
adalah makna batinya. Mereka menganjurkan kebebasan seks dan kepemilikan wanita
dan harta bersama, dengan dalil mempererat hubungan kasih sayang. Mereka juga
membatalkan kewajiban shalat dan puasa. Ini antara lain yang menjadikan
kelompok induk mereka, yakni syiah islamiyyah pun mengutuk mereka. Al-Qaramithah pernah berkuasa
dibahrain dan Yaman, bahkan dibawah pimpinan Abu Taher al-Qurmuthy, mereka
pernah menyebut dan menguasai mekkah pada 930 M. ketika itu mereka menganiaya
jamaah haji karna mereka berannggapan bahwa ibadah haji adalah sisa-sisa
praktik jahilliah, ber tahawaf dan menghormati atau mencium Hajar Al-Aswad adalah syirik, dan karna itu mereka merampas Hajar
al-Aswad. Mereka pada akhirnya dikalahkan olehh al-Mu’iz al-Fathimy ketika mereka menyerbu kemesir
pada 972 M, lalu dipunahkan sama sekali dibahrain pada 1027 M.
- Syi’ah Ismailiyah dan
Cabang-Cabangnya
Kelompok Syi’ah Ismailiyah
hingga kini masih memiliki pengikut-pengikut setia, namun sebagian dari
kelompok-kelompoknya memiliki pandangan-pandangan yang dapat dinilai
menyimpang. Kini, Syi’ah Ismailiyah tersebar dalam kelompok minoritas disekian
banyak Negara, antara lain Afganistan, India, Pakistan, Suruyah dan Yaman serta
beberapa Negara Barat, seperti Inggris dan Amerika Utara.
Kelompok Syi’ah Ismailiyah meyakini bahwa Ismail,
putra iamam Ja’far ash-Shadiq, adalah iamam yang menggantikan ayahnya (Ja’far
ash-Shadiq) yang merupakan aliran ke enam dari Aliran Syiah secara umum.Memang
setelah meninggalnya imam Ja’far sekelompok penganut Syiah percaya bahwa putra
beliau, musa al-Kdzim adalah imam ke tujuh, sebagaimana kepercayaan syiah itsna
‘Asyariyah. Sedangkan kelompok lainya memercayai bahwa ismail, kemudian
putranya, Muhammad adalah imam sudah ayah mereka, padahal ismail wafat lima
tahun sebelum wafatnya sang ayah (Imam Ja’far).
Ismail bin Ja’far ash-Shadiq
menurut kelompok ini sebenarnya belum wafat, kelak ia akan tampil kembali
dipentas bumi ini. Kedatanganya di nantikan oleh kelompok ismailiyah sebagaimana kelompok Syiah itsna Asyariayah
dan sebagian kelompok ahlusunnah menantikan kehadiran imam Mahdi.
Dari sekian banyak riwayat yang dikemukakan bahwa imam Ja’far telah
berupaya untuk menegaskan tentang kematian putranya itu, antara lain dengan
menulis keterangan tentang wafatnya yang disaksikan oleh penguasa setempat. Ini
agaknya menutup jalan bagi kelompok syiah Ghulat (ekstremis) agar tidak menduga
bahwa saat anak akan kembali. Tetapi kendati demikian ada saja
pengikut-pengikut syiah yang menyimpang dari ajaran beliau dan lahirlah
kelompok pengikut imam Ja’far.[8]
Kelompok pertama adalah Syiah imamiyah (itsna
AsyAriyah) yang mempercayai bahhwa Musa al-Kadzim adalah imam ke tujuh setelah
ayah beliau, Ja’farash-Shadiq, ini berlanjut pada anak cucunya hingga mencapai
secara keseluruhan dua belas imam. Kelompok kedua adalah mereka yang percaya
bahwa Ismail, putra Ja’far, adalah imam yang menghilang guna menghindari
kejaran penguasa Abbasiyah, tetapi akan datang pada waktunya. Kelompok ketiga
adalah pengikut yang percaya bahwa imam Ja’far ash-Shadiq memang menetapkan
putra beliau Ismail sebagai imam, tetapi itu untuk menunjukan bahwa putra
Ismail yang bernama Muhammad yang menjadi imam sebelum wafatnya imam Ja’far. Kelompok ketiga ini dinamai al-mubarakiyah.
E. Sekte Sekte
Syi’ah Dan Ajarannya
Sekte syiah terbagi dengan beberapa bagian, namun yang
dapat di uraikan dalam buku ini hanyalah pada garis besarnya di bagi dalam
empat sekte saja yaitu: syiah itsna asyariah, syiah zaydiah, syiah sab’iah dan
syiah ghulat, meskipun cabang cabang sekte lain yang terkait akan di sebutkan
juga.[9]
- Syiah Itsna Asyariah (
Imamiah)
Syiah itsnah
Asyariah ( duabelas) adalah salah satu cabang ataau aliran dari syiah imamia
yang selain dinilai mempunyai pengikut yang paling ramai, juga sangat besar
pengaruhnya dalam dunia islam sampai sekarang, menjadi faham resmi di sebagian
besar wilayah Persia(Iran) semenjak permulaan di 10H/16M, yaitu setelah di
bawah kesana oleh syiah ismahiliah sampai sekarang.
a.
Pengertian
Imamah
Kata imamah
berasal dari kata imam, yang berarati ke imamam, kepemimpinan, leadership,
pemerintah. Sementara menurut istilah, imam adalah kepemimpinan yang tertinggi
dalam masyarakat islam setelah wafatnya nabi Muhammad saw. Adapun pengertian
imam secara sempit adalah bermakana imam dalam sholat berjamaah, sedangkan
pengertian imam secara luas bermakana al-hukum yaitu pemerintah.
b.
pengangkatan
dan pergantian imamah
Sebagai
telah di sebut terdahulu bahwa setelah rasulullah saw wafat, timbullah
persoalan, siapa gerangan yang berhak menggantikan baginda sebagai pemimpin
agama dan umat atau Negara. Timbullah berbagai pandangan di kalangan muslimin.
Menurut pandangan kaum syiah, rasulullah dalam sejarah hidupnya senantisa
memberikan isyarat itu dapat di lihat, misalanya sewaktu baginda telah hijrah
mekah dari medinah, pernah mengutus ali pergi ke mekah untuk mengurus
kepentingan pribadinya dan kepentingan umat islam. Demikian pula setelah
baginda wafat, alilah yang menjadi penggantinya. Baik dalam hal yang berhubungan
dengan hutan masalah pribadi.
Atas dasar
inilah, sehingga tidak bisa di bayangkan bahwa nabi Muhammad wafat tampa
meninggalkan seseorang sebagai penggantinya untuk mengurus segala permasalahan
kaum muslimin dan masyarakat islam pada umumnya.[10]
Dengan demikian,
mereka memanadang bahwa imama imam itu tidak terlepas dari diri pribadi Ali
bersama keturunannya. Dengan begitu, maka mereka berkeyakinan bahwa, alilah
sebagai imam (khalifah) pertama yang ditunjuk oleh rasulullah saw. Sedangkan
Abubakar dan Umar, keduanya adalah perampas dan terianayah, dan wajib
melepaskan ke khalifahnya.
- Syi’ah Zaydiah
Syi’ah
Zaydiah adalah dibangun oleh Zayd bin ‘Ali Zayn al-Abidin (w.122 H/740
M).sebagai di sebutkan dalam sejarah Syi’ah bahwa sepeninggal Muhammad al-Baqir
(w.113 H/732H). yang dikenal dengan imam ke lima, putra sulun Ali Zayn al-Abidi
bin Al-Husainn bin Ali bin Abi Thalib, maka ketika itu syiahh imamiyah terpecah
menjadi dua bagian. Satu pihak berpendirian bahwa jawabatan immah mestilah di
pegang oleh putra imam ke lima, yaitu Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir
(w.148H/766M), yang di kenal denggan panggilan aliran Ja’fariyah atau aliran
imam ke enam dalam pada itu Zayd bin Ali, putra bungsu Ali Zayn al-Abidin bin
al-Husain berpendirian bahwa dialah yang lebih berhak berpegang jawaban itu. Para zayd bin ali-Zayn al-Abidin itulah yang di kenal syiah Zaydiah.
a.
Pribadi Zayd
bin Ali Zayn al-Abidin (76-122H)
Zayd bin Ali
Zayn al-Abidin bin al-Husayn bin Ali bin Abi Thalib, seorang ulama besar dari
kalangan tabiin. Ia merupakan buyut Rasulullah, lahir serta berangkat dewasa
dari Madinah, dan wafat karna terkenak anak panah pada usia relatif muda, 46
tahun. Ibunya adalah seorang wanita yang berasal dari lembah sind, Pakistan
Barat sekarang, yang ditawan pada penakluk wilayah itu, lalu dibawah ke Madinah
bersama tawanan lainya, kemudian di beli oleh Ali Zayn al-Abidin bin al-Husayn
dan dimerdekkan kemudian dijadikan istrinya.
b.
Perjuangan
Zayd bin Ali Menuntut hak Ahl al-Bayt
Zayd bin Ali
banyak mendapat tantangan, yang pada awal terutama dari keluarga sendiri, yaitu
saudaranya Muhammad al-Baqir yang mejabat imam ke-5. Al-Baqir mencela Zayd
karena pergi belajar kepada washil bin atha, yang terkenal Penghu Mu,tajilah.
Celan itu timbul karna washil di nilai oleh al- Baqir tidak memihak pada nenek moyang Ali bin Abi
Thalib, terutama ketika terjadinya perang jamal antara Ali dengan Aisyah yang
didukung oleh jubai dan talhah demikian juga peran siffin antara Ali dengan
Mu’awiyah .
c.
Beberapa
Pendirian Penting Syi’ah Zaydiah
Pendirian Syi’ah Zaydiah terutama yang dicetuskan oleh
pendirinnya, Zayd bin Ali dalam pandanganya tentang permasalahan imamah, ia
berpendirian bahwa imamah itu adalah hak Ali bin Abi Thalib beserta keturunanya
dari pihak istrinya fatimah binti Rasulullah. Dengan
pendirinya itu, maka hak imamah itu kanlah hak Muhammad bin al-Hanafiyah
beserta keturnanya. Dengan begitu maka ia menolak pendirian sekte Syiah
Kaysaniya.
- Syi’ah Sab’iyah (Isma’iliyah)
Syi’ah
Sab’iyah atau syiah tujuh yang biasa disebut syiah isma,iliyah adalah sekte
aliran islam syiah yang sering kali menimbulkan pemahaman yang ukuran tepat. Persona aliran ini tidak terletak pada elemenya yang dasar, melainkan
terletak pada ajaran metafikanya yang karakteristik. Dalam hal ini menurut
sebagian pengamat, sekte ini merupakan perwujudan sistem keagamaan bangsa
Persia ke dalam islam. Dengan begitu maka kaum sekte ini memberikan bentuk
luarnya, yakni teknis dan peristilahan, namun inti atau sentral dari sekte ini
bersumber dari ajaran keagamaan kuno bangsa Persia.
- Nama Nama Syi’ah Sab’iyah
Sebagai diketahui bahwa Syi’ah Sab’iah hanya mengakui
tujuh imam, yaitu hanya sampai kepada keturunan Ali yang ketujuh yang bernama
Isma’il anak dari Ja’far al-Shadiq, imam yang ke enam, penetapan sampai kepada
angka tujuh itu mempunyai alasan tersendiri, yaitu didasarkan pada bilangan ke
tujuh sebagaimana bilangan sesuatu yang terdapat di dunia ini, seperti adanya
tujuh nama hari yang kita kenal, begitu juga kata tujuh yang disebut Allah
dalam al-Qur’an, seperti tujuh langit dan sebagainya sehingga mereka
berkeyakinan bahwa imam sesudah ismai’il tidak akan ada lagi.
b. Cabang-Cabang
Syi’ah Sab’iah dan Ajarannya
1)
Qaramitha
Qaramitha
adalah nama salah satu cabang Syi,ah Tujuh yang di anggap fase, pertama, yakni
muncul setelah lebih satu abad kematian ismai,il putra Ja’far al-Shadiq pada
tahun 145 H. Qaramitha yang merupakan gerakan Syi’ah Tujuh yang bercorak
kebatinan ini terbentuk sekitar 227 H/890 M, dan diberi nama berdasarkan nama
pemimpin gerakan ini, yakni hamdan al-Qaramithi. Adapun pokok
pokok ajaran Qaramitha yaitu antara lain
2)
Tata Cara
Berdakwah
Istilah
berdakwah dalam ajaran Qaramitha terlebih tepat difahami sebagai proganda sebab
ajaran berdakwah bagi Qaramitha adalah dilaksanakan dengan metode persuasif.
3)
Illahiyah
Mengenai
ajaran Illahiyah ini, qaramitha tampaknya sangat dipengaruuhi oleh faham
Neoplatonisme dan pembahasan filosof
Upanishad darai agama barhamana. Dalam hal ini, kaum Qaramitha
terpengaruh oleh teori emansai (pancaran pengaliran) yang mengatakan bahwa alam
ini merupakan rangkaian pancaran dari zat yang Maha Ada, tetapi alam semesta
ini merupakan pancaran yang pertama , sebab yang pertama adalah akal mutlak,
yang memancarkan lagi jiwa mutlak. Ketiganya (zat Yang Maha Ada, akal mutlak
dan jiwa mutlak) disebut trinitas Maha Gaib. Adapun tentang imam, menurutnya
itulah merupakan cahaya Allah dimuka bumi atau bayangan Allah yang kelihatan
atau mazhhar Allah.
4)
Nubuwwah
Nubuwwah
artinya kenabian atau pemberitaan, yaitu pemberitaaan tentan alam gaib, begitu
pula masa depan dengan ilham sedangakan yang dimaksud dengan nabi adalah
seseorang yang memperoleh limpahan kudrah al-qudsiyyah al-sahafiyyah (suci lagi
murni) dari Allah melalui Akal Pelimpahan.
5)
Imamah
Dalam
masalah imamah ini, seorang tokoh Isma’iliyah di India Dr. Zahid Ali
sebagaimana dikutip oleh Joesoef sou’yb menyatakan bahwa kalimat akidah dalam
islam Laailahaillallah bermakna, (Tiada Satupun Pujaan Kecuali Allah), istilah
dimaknakan dengan La Imama Illa Immam Zaman bermakna (Tiada Satupun Ikutan Kecuali
Imam al-Zaman).
6)
Syariat
Dalam
masalah syariat ini, mereka berpendapat bahwa setiap kalimat dalam al-Qur’an
dan hadis, mempunyai pengertian lahiriyah dan pengertian batiniyah dan
pengertian batiniah lebih dalam dan lebih rahasia.[11]
Mereka menyatakan bahwa pengertian lahiriyah itu diperuntukan kedalam al-juhala
(orang-orang selain kaum isma’iliyah), sedangkan pengertian batiniah
diperuntukan kepada al-uqala (kaum ismai’liyah), maka setiap kalimat itu
merupakan rumusan isyarat bagi hakekat masyarakat yang bersifat tersembunyi.
7)
Kiamat
Mereka
menolak pengertian kiamat dengan kebangkitan setelah alam ini hancur, sebab
menurutnya, susunan alam yang sekarang ini, pengertian siang dan malam,
kelahiran manusia dan hewan akan tetap berlangsung selama lamanya.
- Fatyimiah
Dinasti
fathimiah dibangun oleh Sa’id bin al-Husayn (Abdullah al-Mahdi) (w.322 H/934
M). pada tahun 290 H, ia berangkat dari sulaimaniyah daerah timur Syiriah
menuju Afrikka Utara dan Afrika Barat untuk memimpin gerakan bawah tanah pihak
isma’iliyah, dan pada masa itu belum di kenal sebutan Fatimiyah. Adapun pokok pokok ajaran fatimiyah ini antara lain sebagai berikut:
a)
Al-matsal
mereka artikan dengan fenomena yang nyata menyelamatkan diri dari bentuk
terbatas dari seluruh yang disaksikan.
b)
Tubuh yang sholat
menghadap kekiblat (ka’bah) sedangkan ingatannya mengarah ke imam.
c)
Orang yang
mati cuma berarti tubuhnya kembali ke tanah, sedangkan jiwanya sebagai kudrah
rohani terbebas daripada kungkungan.
d)
Imam itu
memperileh kekuasaan memerintah dari malaikat, memeperoleh kudrah dari rohani
yang mengawasi alam semesta ini.
- Syi’ah Gulat
- Pengertian Syi’ah Gulat
Syi’ah gulat
ialah Syi’ah yang berpendirian sangat keterlaluan, melampau batas keyakinan
umat Islam pada umumnya, dan batas hukum syariat yang paling mendasar dalam
Islam, karna mereka mempertaruhkan (menganggap Tuhan) para imam meraka, seperti
Ali dan keturunaya. Disamping itu menghalalkan
segala yang dilarang oleh Allah dan menggurkan segala kewajiban Syariat.
b. Sekte Sekte Syi’ah Gulat
1.
Saba’ah
Golongan
sab’ah ini adala pengikut Abdullah bin Saba, yang masuk Islam pada masa, Utsman
bin Affan (23-25 H), yang ajaranya sangat merusak kemurnian ajaran Islam
seperti ia meng-ghulat Ali, dengan mengatakan bahwa Ali adalah Nabi, bahkan di
anggap sebagai Tuhan.
2.
Bayaniah
Sekte
bayaniah ini menurut al-baghdadi dinisbkan kepada Bayan bin Sam’an al-Tamimi
al-Mahdi, al-Yamani. Ia muncul di irak pada abad ke dua H,
dan mendakwahkan bahwa sifat ketuhanan itu turun dari Ali, kemudian kepada
Muhammad bin al-Khalifah, kemudian kepada anaknya, Abu Hasim lalu kepada
dirinya. Selepas itu ia mendakwahkan
dirinya sebagai Nabi.
3.
Munghirah
Sekte
munghirah ini di pelopori oleh al-Mughirah bin Sa’id al-Ajali seorang tukang
sihir karna meninggal di bakar oleh khalik al-Qashri pada tahun 199 H. faham
yang pertama di munculkan oleh al-Munghirah ialah masalah imamah, bahwa imam
sesudah Ali adalah al-Hasan dan al-Husayn sampai kepada cucunya Muhammad bin
Abdillah sebagai al-Mahdi al-Muntazhar, dan yang di anggap al-Mahdi itu sama
dengan Nabi Muhammad.
F. Konflik antara Syiah dan
Sunni
Konflik Syiah dan Sunni makin mengemuka dalam beberapa
tahun terakhir di kawasan Timur Tengah, setelah meletusnya perang saudara di
Suriah dan Yaman, kehadiran kelompok Islamic State di Suriah dan Irak,
dan terakhir eksekusi seorang ulama Syiah oleh Arab Saudi. Puncak dari konflik
ini adalah keputusan Saudi, yang mayoritas Suni, untuk memutus hubungan
diplomatik dengan negara Syiah, Iran.
Iran, satu-satunya negara non-Arab di kawasan Teluk,
memang acap kali dianggap sebagai musuh bersama sehingga pada 1980an ketika
terjadi perang panjang Iran-Irak, banyak negara Arab yang mendukung Irak. Namun
sebetulnya komunitas Syiah tersebar di banyak negara, termasuk Irak, Lebanon,
dan Arab Saudi sendiri. Dan sesungguhnya, perbedaan Syiah-Sunni tersebut jika
ditelusuri sudah mengemuka di abad ke-7.
Apa penyebab perpecahan?
Dua aliran tersebut muncul setelah Nabi Muhammad wafat
pada 632 Masehi. Beliau wafat tanpa sempat menunjuk seorang pengganti untuk
memimpin umat Muslim, dan muncul perdebatan siapa yang pantas menjadi pemimpin
agama yang ketika itu masih baru dan berkembang pesat. Sebagian meyakini bahwa
pemimpin yang baru harus dipilih lewat konsensus; yang lain mengatakan hanya
keturunan Nabi yang pantas menjadi khalifah. Maka ditunjuklah sahabat Nabi yang
paling dipercaya, Abu Bakar, walaupun sebagian beranggapan tongkat estafet
seharusnya diserahkan kepada Ali, sepupu sekaligus menantu Nabi. Ali pada
akhirnya memang menjadi khalifah setelah dua pengganti Abu Bakar meninggal
karena dibunuh. Setelah Ali juga dibunuh musuh-musuhnya, dengan sebuah pedang
beracun di sebuah masjid di Kufa yang sekarang menjadi Irak, dua putranya Hasan
dan Hussein menjadi khalifah. Namun Hussein dan banyak kerabatnya kemudian
dibunuh di Karbala, Irak, pada 680. Wafatnya Hussein sebagai syuhada menjadi
penguat bagi mereka yang meyakini bahwa Ali adalah khalifah penerus langsung
Nabi. Para pengikut ini kemudiah dikenal sebagai kelompok Syiah, kependekan
dari frase "Syiah Ali", atau para pengikut Ali.
Kata Suni berasal dari frase "Ahl al-Sunna",
orang-orang yang mengikuti sunah Rasul. Kelompok Suni menganggap tiga kalifah
pertama sebelum Ali sebagai penerus dan penyampai Sunah Rasul yang
sesungguhnya. Para penguasa Suni juga mampu memperluas kekhalifahan hingga ke
Afrika Utara dan Eropa. Kekhalifahan terakhir terhenti seiring runtuhnya
Kerajaan ottoman para Perang Dunia I.
G.
Perbedaan Syiah dan Sunni
Aliran Suni dan Syiah masing-masing memiliki spektrum
yang sangat luas tentang doktrin, opini, dan ajaran. Dalam banyak aspek tentang
Islam, mereka sependapat, yaitu hanya ada satu Allah, Muhammad adalah nabi
terakhir dan Alquran adalah kitab suci terakhir. Namun ada banyak hal yang
membuat kedua pihak berbeda pendapat. Syiah menganggap Ali dan para pemimpin
sesudahnya sebagai Imam. Sebagian besar menganggap ada 12 Imam, yang terakhir
adalah seorang bocah laki-laki yang diyakini menghilang setelah ayahnya
dibunuh.
Perbedaan antara Sunni dan Syiah yang Mendasar
Dunia Islam dewasa ini terutama di Timur Tengah di
goncangkan oleh peperangan sektarian antara Islam Suni dan Syi’ah. Masjid bukan
lagi tempat yang aman untuk beribadah. Sering kita dengar Masjid Suni yang
diledakan oleh kaum Syi’ah demikian pula kita dengar masjid kaum Syiah
diledakan oleh kaum Suni. Kita yang awam ini jadi terheran heran , mengapa
sesama Islam saling bunuh dan serang.
Perpecahan antara Islam Sunni dan Syiah telah memporak
porandakan beberapa negara di Timur tengah seperti Syuriah, Irak, Yaman dan
lain lain. Ada kekuatiran perpecahan ini akan meluas ke Negara lain yang
terdapat pengikut Sunni dan Syiahnya . Di Indonesia dengan semakin banyaknya
pengikut Syiah , aroma perpecahan itupun mulai terasa pula.
Kita di Indonesia ini belum banyak yang tahu tentang
perbedaan aliran Suni dan Syi’ah ini. Syi’ah sudah ada di Indonesia sebelum
Indonesia merdeka, hanya saja mereka merupakan kelompok minoritas , sehingga
kita tidak banyak tahu tentang aliran Syi’ah ini. Selama ini tidak pernah ada masalah antara
Islam Sunni dan Syi’ah di Indonesia karena sebagian besar umat Islam di
Indonesia menganggap Sunni dan Syi’ah itu sama.
Banyak orang yang menyangka bahwa perbedaan antara
Islam Sunni dengan Syiah Imamiyah Itsna
Asyariyah (Ja’fariyah) hanya sekedar
dalam masalah khilafiyah Furu’iyah saja , seperti halnya perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah,
atau antara Madzhab Syafi’i dengan
Madzhab Maliki.
Karena itu
dengan adanya ribut-ribut masalah Sunni dengan Syiah, ada yang berpendapat agar perbedaan pendapat tersebut
tidak perlu dibesar-besarkan. Selanjutnya mereka berharap, apabila antara NU
dengan Muhammadiyah bisa diadakan pendekatan-pendekatan demi Ukhuwah
Islamiyah, mengapa antara Syiah dan
Sunni tidak bisa dilakukan pendekatan yang sama pula ?
Apa yang mereka harapkan tersebut, tidak lain dikarenakan
minimnya pengetahuan mereka mengenai aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah
(Ja’fariyah). Sehingga apa yang mereka sampaikan hanya terbatas pada apa yang
mereka ketahui. Semua itu dikarenakan kurangnya informasi pada mereka, akan
hakikat ajaran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Sedangkan apa yang
mereka kuasai, hanya bersumber dari tokoh-tokoh Syiah yang sering berkata bahwa
perbedaan Sunni dengan Syiah hanyalah
seperti perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzhab Syafi’i.
Padahal perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzhab
Syafi’i, hanya terjadi pada masalah Furu’iyah saja pada masalah Ushuul
sama tidak ada perbedaan . Sedang perbedaan antara Sunni dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah
(Ja’fariyah), disamping dalam masalah
Furuu’ juga terjadi perbedaan pada
masalah Ushuul.(pokok).
Rukun Iman Syi’ah
berbeda dengan rukun Iman Sunni , rukun Islamnya juga berbeda, begitu
pula kitab-kitab hadistnya juga berbeda, bahkan sesuai pengakuan sebagian besar
ulama-ulama Syiah, bahwa Al-Qur’an mereka juga berbeda dengan Al-Qur’an yang
digunakan Sunni. Apabila ada dari ulama mereka yang pura-pura (taqiyah)
mengatakan bahwa Al-Qur’annya sama, maka dalam menafsirkan ayat-ayatnya sangat
berbeda dan berlainan. Sehingga tepatlah apabila ulama-ulama Sunni mengatakan :
Bahwa Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) adalah satu agama tersendiri
yang berbeda dengan Islam Sunni.
Melihat pentingnya persoalan tersebut, maka di bawah
ini kami nukilkan sebagian dari perbedaan antara aqidah Sunni ( Ahlussunnah Waljamaah) dengan aqidah Syiah
Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah).
1)
Rukun Islam
Rukun Islam Sunni (Ahlussunah waljamaah) ada 5
yaitu
1.
Membaca dua kalimah sahadat (syahadatain)
2.
Mengerjakan Shalat
3.
Mengerjakan Puasa
4.
Menunaiakan zakat
5.
Menunaikan Hajji
Rukun Islam Syi’ah juga 5 tapi berbeda
1.
Mengerjakan Shalat
2.
Mengerjakan Puasa
3.
Menunaikan Zakat
4.
Menunaikan haji
5.
Al Wilayah
2)
Rukun Iman
Rukun Iman Sunni (Ahlussunnah) ada enam:
1.
Iman kepada Allah
2.
Iman kepada Malaikat-malaikat Nya
3.
Iman kepada Kitab-kitab Nya
4.
Iman kepada Rasul Nya
5.
Iman kepada Yaumil Akhir / hari kiamat
6.
Iman kepada Qadar, baik-buruknya dari Allah.
Rukun Iman Syiah ada 5 :
1.
At-Tauhid
2.
An Nubuwwah (kenabian)
3.
Al Imamah
4.
Al Adlu
5.
Al Ma’ad (Kiamat)
3)
Syahadat
Sunni (Ahlussunnah) mempunyai Dua kalimat syahadat,
yakni: “Asyhadu An La Ilaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah”.
Syiah mempunyai tiga kalimat syahadat, disamping “Asyhadu an Laailaha illallah,
wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, masih ditambah dengan menyebut dua
belas imam-imam mereka.
4)
Imamah
Ahlussunnah meyakini bahwa para imam tidak termasuk
rukun iman. Adapun jumlah imam-imam Ahlussunnah tidak terbatas. Selalu timbul
imam-imam, sampai hari kiamat.Karenanya membatasi imam-imam hanya dua belas
(12) atau jumlah tertentu, tidak dibenarkan.
Syiah meyakini ada dua belas imam-imam mereka, dan
termasuk rukun iman. Karena itu orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas
imam-imam mereka (seperti orang-orang Sunni), maka menurut ajaran Syiah orang
tersebut kafir dan akan masuk neraka.
5)
Khulaufarasyidin
Ahlussunnah mengakui kepemimpinan khulafaurrosyidin
adalah sah. Mereka adalah: a) Abu Bakar, b) Umar, c) Utsman, d) Ali radhiallahu
anhum.
Syiah tidak mengakui kepemimpinan tiga Khalifah
pertama (Abu Bakar, Umar, Utsman), karena dianggap telah merampas kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib (padahal Imam Ali sendiri membai’at dan mengakui
kekhalifahan mereka). Merekapun meyakini bahwa Abu bakar, Umar dan Ustman sudah murtad dan keluar dari islam sesudah
wafatnya Rasulullah.
6)
Kemaksuman Para Imam
Ahlussunnah berpendapat khalifah (imam) adalah manusia
biasa, yang tidak mempunyai sifat Ma’shum. Mereka dapat saja berbuat salah,
dosa dan lupa, karena sifat ma’shum, hanya dimiliki oleh para Nabi. Sedangkan
kalangan syiah meyakini bahwa 12 imam mereka mempunyai sifat maksum dan bebas
dari dosa.
7)
Para Sahabat
Sunni (Ahlussunnah) menghormati para sahabat seperti
Abu bakar, Umar dan Ustman dan melarang mencaci-maki beliau . Sedangkan Syiah
mengangggap bahwa mencaci-maki dan melaknat
para sahabat tidak apa-apa, bahkan berkeyakinan, bahwa para sahabat
tersebut telah murtad setelah wafatnya Rasulullah SAW dan tinggal beberapa orang saja. Alasannya karena para
sahabat membai’at Sayyidina Abu Bakar
sebagai Khalifah.
8)
Sayyidah Aisyah
Sayyidah Aisyah istri Rasulullah sangat dihormati dan
dicintai oleh Ahlussunnah. Beliau adalah termasuk ummahatul Mu’minin.
Sebaliknya Syiah melaknat dan mencaci maki Sayyidah Aisyah, memfitnah bahkan
mengkafirkan beliau.
9)
Kitab Kitab Hadits
Kitab-kitab hadits yang dipakai sandaran dan rujukan Ahlussunnah
adalah Kutubussittah: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan
At-Tirmidz, Sunan Ibnu Majah dan Sunan An-Nasa’i. (kitab-kitab tersebut beredar
dimana-mana dan dibaca oleh kaum Muslimin sedunia).
Kitab-kitab hadits Syiah hanya ada empat : a) Al
Kaafi, b) Al Istibshor, c)Man Laa Yah Dhuruhu Al Faqih, dan d) Att Tahdziib.
(Kitab-kitab tersebut tidak beredar, sebab kebohongannya takut diketahui oleh
pengikut-pengikut Syiah).
10) Al-Qur’an
Menurut Sunni ( Ahlussunnah) kitab Al-Qur’an yang ada
sekarang tetap orisinil dan tidak pernah
berubah atau diubah. Sedangkan syiah menganggap bahwa Al-Quran yang ada
sekarang ini tidak orisinil. Sudah dirubah oleh para sahabat (dikurangi dan
ditambah).
11) Syurga
Menurut Sunni Surga diperuntukkan bagi orang-orang
yang taat kepada Allah dan Rasul Nya. dan Neraka diperuntukkan bagi orang-orang
yang tidak taat kepada Allah dan Rasul Nya. Menurut Syiah, surga hanya
diperuntukkan bagi orang-orang yang cinta kepada Imam Ali, walaupun orang tersebut
tidak taat kepada Rasulullah. Dan neraka diperuntukkan bagi orang-orang yang
memusuhi Imam Ali, walaupun orang tersebut taat kepada Rasulullah.
12) Raj’ah
Aqidah raj’ah tidak ada dalam ajaran Sunni (
Ahlussunnah.) Raj’ah ialah besok di
akhir zaman sebelum kiamat, manusia akan hidup kembali. Dimana saat itu Ahlul
Bait akan balas dendam kepada musuh-musuhnya.
Raj’ah adalah salah satu aqidah Syiah, dimana
diceritakan bahwa nanti diakhir zaman, Imam Mahdi akan keluar dari
persembunyiannya. Kemudian dia pergi ke Madinah untuk membangunkan Rasulullah,
Imam Ali, Siti Fatimah serta Ahlul Bait yang lain. Setelah mereka semuanya
bai’at kepadanya, diapun selanjutnya membangunkan Abu Bakar, Umar, Aisyah.
Kemudian ketiga orang tersebut disiksa dan disalib, sampai mati seterusnya
diulang-ulang sampai ribuan kali,
sebagai balasan atas perbuatan jahat mereka kepada Ahlul Bait.
Orang Syiah mempunyai Imam Mahdi sendiri, yang
berlainan dengan Imam Mahdi yang diyakini oleh Ahlussunnah, yang akan membawa
keadilan dan kedamaian.
13) Nikah Mut’ah
Nikah Mut’ah (kawin kontrak),menurut Sunni sama dengan
perbuatan zina dan hukumnya haram. Sementara dalam Syiah nikah Mut’ah sangat dianjurkan dan hukumnya halal.
Halalnya nikah Mut’ah ini dipakai oleh golongan Syiah untuk mempengaruhi para
pemuda agar masuk Syiah. Padahal haramnya Mut’ah juga berlaku di zaman Khalifah
Ali bin Abi Thalib.
14) Khamar
Khamer (arak) najis menurut Ahlussunnah. Menurut
Syiah, khamer itu suci.
15) Air Bekas Istinja’
Air yang telah dipakai istinja’ (cebok) dianggap tidak
suci, menurut ahlussunnah (sesuai dengan perincian yang ada). Menurut Syiah air
yang telah dipakai istinja’ (cebok) dianggap suci dan mensucikan.
16) Sedakep
Diwaktu shalat meletakkan tangan kanan diatas tangan
kiri hukumnya sunnah. Menurut Syiah meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri
sewaktu shalat dapat membatalkan shalat. (jadi shalat kebanyakan umat Islam
di Indonesia hukum tidak sah dan batal,
sebab meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri).
17) Membaca Amin Sesudah Al-Fatihah
Mengucapkan Aamiin diakhir surat Al-Fatihah dalam
shalat adalah sunnah. Menurut Syiah mengucapkan Amin diakhir surat Al-Fatihah
dalam shalat dianggap tidak sah dan batal shalatnya. (Jadi shalatnya Muslimin
di seluruh dunia dianggap tidak sah, karena mengucapkan Amin dalam shalatnya).
18) Taqiyah
Menurut Sunni Taqiyah mengucapkan sesuatu yang berbeda
dengan isi hati termasuk perbuatan dusta dan munafik. Menurut Syiah mengucapkan
sesuatu yang berbeda dengan isi hati (dusta) , untuk melindungi diri dari musuh
dan lawan itu merupakan ibadah .
Taqiyah adalah satu rukun dari rukun-rukun Syiah ,
seperti halnya shalat. Ibnu Babawaih mengatakan:“Keyakinan kami tentang taqiyah
itu adalah dia itu wajib. Barangsiapa meninggalkannya maka sama dengan
meninggalkan shalat.”[Al-I’tiqadat, hal.114].
Muhammad Al-Kulaini berkata: “Bertaqwalah kalian
kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam agama kalian dan lindungilah agama kalian
dengan taqiyah, maka sesungguhnya tidaklah mempunyai keimanan orang yang tidak
bertaqiyah. Dia juga mengatakan “Siapa yang menyebarkan rahasia berarti ia ragu
dan siapa yang mengatakan kepada selain keluarganya berarti kafir.” .[Al-KafiS
2/371,372 dan 218].
Demikian telah kami nukilkan beberapa perbedaan antara
aqidah Sunni (Ahlussunnah Waljamaah) dan
aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Harapan kami semoga pembaca
dapat memahami benar-benar perbedaan-perbedaan tersebut. Selanjutnya pembaca
yang mengambil keputusan (sikap). Masihkah mereka akan dipertahankan sebaga
Muslimin dan Mukminin ? (walaupun dengan Muslimin berbeda segalanya).
Sebenarnya yang terpenting dari keterangan-keterangan
diatas adalah agar masyarakat memahami benar-benar, bahwa perbedaan yang ada
antara Sunni ( Ahlussunnah) dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah)
itu, bukan hanya dalam masalah Furuu’
(cabang-cabang agama) tetapi juga dalam masalah
Ushuul (pokok/ dasar agama).
Apabila tokoh-tokoh Syiah sering mengaburkan
perbedaan-perbedaan tersebut, serta memberikan keterangan yang tidak
sebenarnya, maka hal tersebut dapat kita maklumi, sebab mereka itu sudah
memahami benar-benar, bahwa Muslimin Indonesia tidak akan terpengaruh atau
tertarik pada Syiah, terkecuali apabila disesatkan (ditipu). Oleh karena itu,
sebagian besar orang-orang yang masuk Syiah adalah orang-orang yang tersesat,
yang tertipu oleh bujuk rayu tokoh-tokoh Syiah. Mereka mengatakan bahwa Syiah
dengan ahlusunah waljamaah itu sama. Tidak sedikit umat Islam yang berhasil
mereka pedaya hingga jadi pengikut Syiah.
Perkembangan ajaran Syiah di Indonesia pada akhir
akhir ini cukup pesat, banyak pasantren yang siswanya mendapatkan beasiswa dari
Iran ketika mereka kembali ke Indonesia ikut menyebarkan ajaran Syiah ini.
Dibeberapa tempat benturan antara penganut Syiah dengan Suni juga sudah mulai
terjadi, seperti yang terjadi di Sampang Madura . Penyerangan jamaah Adzikra di
Sentul oleh mereka yang mengaku dari kelompok Syiah. Ini merupakan pekerjaan
rumah bagi pemerintah Indonesia dewasa ini, bagaimana agar benturan benturan
ini tidak terjadi dan menimbulkan kekacauan sektarian seperti yang terjadi di
Timur Tengah .
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan yang dijelaskan pada bab pembahasan diatas dapat diambil
beberapa kesimpulan mengenai golongan syi’ah, yaitu antara lain sebagai
berikut:
- Syi’ah menurut bahasa
adalah pendukung atau pembela. Syi’ah Ali adalah pendukung
atau pembela Ali. Sunnisme adalah mereka yang
senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan Al Qur'an dan hadits yang
shahih dengan pemahaman para sahabat, dan tabi’in.
- Pendapat mengenai awal
mula lahirnya Syi’ah ada dua yaitu:
a.
Sebagian
menganggap Syi’ah lahir langsung setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, yaitu pada
saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshar di Balai
Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat
itu muncul suara dari Bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut
kekhalifahan bagi ‘Ali bin Abi Thalib. Sebagian yang lain menganggap Syi’ah
lahir pada masa akhir kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan atau pada masa awal
kepemimpinan ‘Ali bin Abi Thalib.
b.
Pendapat
yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan
antara pihak pasukan Khalifah ‘Ali dengan pihak pemberontak Mu’awiyah bin Abu
Sufyan di Shiffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa tahkîm
atau arbitrasi. Akibat kegagalan itu, sejumlah
pasukan ‘Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan ‘Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij.Sebagian besar orang yang tetap setia
terhadap khalifah disebut Syî’atu ‘Alî (pengikut ‘Ali).
3.
Dalam
lintasan sejarahnya yang panjang, keragaman pendapat yang terdapat pada
kelompok Sunni dan Syi’ah pada batas-batas tertentu tidak pernah menyulut
terjadinya konflik yang pelik, kecuali setelah isu Sunni-Syi’ah ini
dipolitisasi sedemikian rupa untuk menimbulkan perpecahan di tengah-tengah kaum
Muslim serta untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Namun, dari sisi
pemikiran hukum maupun politik, kalangan Sunni dan Syi’ah sudah terbiasa dengan
perbedaan pendapat. Kedua kelompok ini bisa hidup berdampingan dan saling
menghormati satu sama lain. Kenyataan ini bisa dilihat dari sikap para ulama
kalangan Sunni terhadap ulama Syi’ah dan sebaliknya. Ulama-ulama mu’tabar
dari kalangan Sunni menempatkan Ahlul Bait (yang oleh kalangan Syi’ah
dijadikan sebagai panutan dan pemimpin mereka) pada kedudukan yang tinggi dan mulia.
[1] M. Quraish Shihab, Sunnah Syiah Begandengan Tangan!Mungkinkah?,
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 57
[2] Muhammad Tijani, Al Syi’ah Hum Ahlu Sunnah Syi’ah
Sebenar-benarnya Ahlu Sunnah Nabi SAW, (Jakarta: El Faraj Publishing,
2007), hlm. 37
[3]
Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran
Sejarah Analisa perbandingan (Cet.V; Jakarta UI Press 1986), hlm.75.
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Cet V;
Jakarta: PT Grafindo Perkasa, 1997), hlm. 50.
[5]
Abuddin Nata, Ilmu Kalam Filsafat dan
Tasawuf , (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), hlm. 56
[6] Hasbi Ash Shiddieqy, Tauhid
Sejarah Dan Pengantar Ilmu / Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm.169.
[7] M. Quraish Shihab, Op.Cit.,hlm. 70
[8]http://www.koranpendidikan.com/artikel/3613/aliran-dalamteologi
islam.html, diakses pada tanggal 1 Februari 2016
[9] https://sipencariilmu.wordpress.com/2012/10/06/sejarah-syiah-munculnya-syiah-aliran-ajaran-syiah-imamiyah/,
di akses pada tanggal 1 februari 2016
[10] Muslih Fathoni, Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam
Perspektif, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 1994), hlm. 24
[11]
Tgk. H.Z.A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah, Jakarta: Bumi Aksara, 1998,
hlm. 7
Komentar
Posting Komentar